Berlimpahnya SDA yang dimiliki Indonesia justru menciptakan berbagai celah korupsi yang berakibat pada kerusakan ekosistem lingkungan dan hambatan terhadap pembangunan.
Hal ini berpotensi mendorong terjadinya “resource-curse”, yaitu kondisi ketika kekayaan alam justru menjadi kutukan.
Kondisi resource-curse setidaknya berangkat dari suatu fenomena ketika negara yang memiliki SDA berlimpah tidak serta merta menjadi negara makmur dan sejahtera. Sebaliknya, hal tersebut menjadi kutukan bagi negara tersebut.
Kekayaan alam yang dieksploitasi dengan tujuan memperoleh manfaat bagi negara, kadangkala tidak sebanding dengan dampak negatif yang dihadirkan dari aktivitas eksploitasi.
Beberapa dampak negatif yang dihadirkan dari kerusakan tersebut, misalnya kerusakan alam secara masif, konflik sosial, dan dampak lain seperti ketimpangan dan kesenjangan pembangunan ekonomi pada berbagai daerah.
Pada berbagai studi menyebutkan bahwa resource-curse disebabkan buruknya tata kelola SDA, termasuk di antaranya berkaitan dengan praktik korupsi.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam berlimpah tentu tidak ingin pengelolaan SDA dilakukan secara ugal-ugalan dan dipenuhi praktik korupsi.
Di samping itu, penting juga bagi Indonesia agar dapat terhindar dari kondisi resource-curse sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Oleh karenanya, melalui pengungkapan korupsi Timah Rp 271 T ini semestinya jadi momentum ideal untuk melakukan pembenahan secara fundamental pengelolaan SDA agar terhindar dari praktik korupsi.
Sebagai landasan teori untuk melakukan pembenahan, penulis menggunakan Teori Sistem Hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman.
Efektifitas suatu sistem hukum sangat dipengaruhi tiga hal, yaitu Legal Substance (Regulasi atau Peraturan Perundang-undangan), Legal Structure (Struktur Penegak Hukum), dan Legal Culture (Budaya Masyarakat).
Pertama, dari aspek peraturan perundang-undangan. Perlu sekiranya untuk dilakukan revisi terhadap UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
Misalnya, dengan memasukan pengaturan korupsi pada sektor swasta sebagaimana diamanatkan oleh United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 7/2006.
Selain itu, perlu juga segera mendorong pengesahan RUU tentang Perampasan Aset, sebab ini menjadi sarana penting bagi penegak hukum untuk penyitaan aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, terlebih jika melihat potensi kerugian keuangan negara yang besar tentu menjadi angin segar untuk meningkatkan asset recovery.
Kedua, aspek struktur penegak hukum. Aktor lembaga penegak hukum yang mengungkap kasus tersebut berasal dari Kejaksaan RI.