Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus penyerobotan lahan negara untuk kelapa sawit, pengelolaan dana pensiun PT Asabri, dan kasus penyimpangan dana investasi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Pada prinsipnya korupsi pada sumber daya alam memiliki modus yang sama dengan korupsi pada umumnya, seperti gratifikasi, penyuapan, kronisme, atau benturan kepentingan.
Hal yang membedakan dengan korupsi pada sektor lainnya terletak pada berbagai bentuk korupsi tersebut dilakukan untuk mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya dari alam, dengan mengabaikan kepentingan ekosistem dan pembangunan berkelanjutan.
Seperti layaknya fenomena gunung es, korupsi Timah Rp 271 T dapat dikatakan hanya sebagian kecil saja kasus mengenai penyalahgunaan izin usaha pertambangan terungkap ke permukaan.
Pada 2019, misalnya, KPK pernah menangani kasus korupsi terkait SDA dengan kerugian Rp 5,8 T dan 711.000 dollar AS yang menyeret Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi.
Kasus lainnya sektor SDA yang pernah diungkap KPK adalah korupsi mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang dalam penghitungan jaksa mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 4,3 T.
Besar kemungkinan modus korupsi yang sama terjadi pada berbagai perusahaan lainnya. Sejumlah permasalahan yang menjadi penyebab kerentanan korupsi berkaitan sumber daya alam di antaranya mengenai ketidapastian hukum dan perizinan, kurang memadainya sistem akuntabilitas, lemahnya pengawasan, dan kelemahan sistem pengendalian manajemen (Utari, 2011).
Pada 2022, Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK RI, Herda Helmijaya menjelaskan bahwa akibat pengelolaan yang buruk, sumber daya alam menjadi salah satu sektor yang rawan terjadi korupsi.
Alasannya karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki satu peta luas dan batas hutan (one map). Akibatnya, hutan yang seharusnya dilindungi dan dijaga kealamiannya beralih fungsi menjadi perkebunan-perkebunan industri di lahan yang tidak seharusnya.
Selain itu, dalam riset yang dilakukan KPK memperlihatkan pelaku suap harus merogoh kocek mulai dari Rp 600 juta hingga Rp 22 miliar untuk mendapatkan izin usaha.
Kasus korupsi Timah setidaknya mencerminkan adanya titik lemah pengawasan pemerintah maupun aparat penegak hukum.
Hal ini senada dengan keterangan Pusat Kajian Antikorupsi UGM yang menyebutkan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor SDA belum optimal dan masih lemahnya sistem pengawasan pemerintah hingga penegakan hukum yang cenderung pro terhadap pelaku bisnis.
Dalam studi yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) pada 2023 juga pernah merilis penilian risiko korupsi perizinan dan pengawasan usaha pertambangan.
Berdasarkan studi TII, potensi korupsi hadir sejak penerbitan wilayah izin usaha pertambangan dan pemberian izin usaha pertambangan. Selain itu, melemahnya fungsi pengawasan juga menjadi potensi risiko terjadinya korupsi.