Sidang sengketa Pilpres 2024 telah digelar di MK. Publik dapat mengikutinya secara langsung.
Memang lebih seru dibandingkan dengan sidang sengketa pilpres sebelumnya. Setidaknya ada empat pejabat kelas menteri yang dihadirkan oleh MK, yang sebelumnya tak pernah terjadi.
Meski paparan para menteri terkesan normatif dan hanya para hakim yang diberi kesempatan bertanya, setidaknya menumbuhkan harapan fajar keadilan akan menyingsing di MK. Dan, kini bola di tangan para hakim MK.
Karena itu, sudah sepatutnya publik mendorong dengan segala hormat kepada hakim MK untuk menggunakan “keistimewaan” jabatannya.
Hakim konstitusi bukan jabatan sembarangan dan diisi sembarangan orang. Di samping disumpah atas nama Tuhan, syarat-syarat hakim konstitusi diatur di dalam UUD 1945.
Salah satu syarat yang ditegaskan dalam UUD 1945, seorang hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Istimewa sekali, karena syarat kenegarawanan tidak ditentukan untuk jabatan kenegaraan lain dalam UUD 1945. Syarat presiden pun tak menyebut eksplisit seorang negarawan.
Tentu saja hakim konstitusi adalah orang-orang istimewa yang melampaui jabatan kenegaraan yang lain, yang boleh dikata “telah selesai dengan urusan diri sendiri”.
Kenegarawanan mengandung muatan-muatan normatif yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan kualitas seorang politikus. Di negara demokrasi, semua warga negara berhak menjadi politikus, tetapi tidak semua politikus memiliki kualifikasi negarawan.
Kepentingan-kepentingan pragmatis adalah keniscayaan di dalam politik demokrasi. Namun, di dalam demokrasi juga tidak dibutakan oleh kepentingan kekuasaan semata yang cenderung pragmatis.
Di sanalah kenegarawanan dibutuhkan. Kualitas tertentu yang tidak dapat dilepaskan dari keutamaan-keutamaan moral yang dimiliki seseorang, yang membuatnya bijak dan bajik.
Dan, hakim MK yang mengadili sengketa Pilpres 2024 semestinya juga berpegang teguh pada prinsip moralitas (etika), karena sesungguhnya hukum dibuat untuk memastikan nilai-nilai tentang kebaikan bersama berfungsi di masyarakat.
Kualitas kenegarawanan yang dituntutkan kepada hakim MK bersifat historis. MK adalah produk historis.
MK menandai babak baru sejarah politik demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru. Maka, di atas kertas keberadaan MK mestinya turut menjamin dan memastikan kualitas demokrasi Indonesia membaik dari waktu ke waktu.
Kualitas demokrasi yang membaik itu bukan hanya soal tata caranya (misal soal pemilu), melainkan juga substansinya (misal soal kemerdekaan berpendapat).
Karena itu, dari sudut historis tak berlebihan MK diidentikan dengan fajar keadilan itu sendiri. Sinarnya diharapkan akan menerangi kegelapan perjalanan demokrasi Indonesia.
Ke mana? Tak lain menuju tanah harapan di seberang jembatan emas proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Fajar keadilan adalah keniscayaan sejarah manusia, juga bangsa-bangsa. Bangsa Indonesia terlahir dari fajar keadilan yang menyingsing di segala penjuru Nusantara.
Saya memercayai gerak sejarah yang dialektis. Cut Nyak Dien, Diponegoro, Pattimura lahir sebagai antitesis atas praktik kolonialisme. Pun Soekarno yang berteriak “Indonesia Menggugat” di depan hakim kolonial di Bandung pada 1930.
Mereka adalah fajar keadilan pada zamannya. Serupa pula dengan Ratu Adil yang menggerakkan pemberontakan rakyat petani pada abad ke-18 dan ke-19.
Maka, seperti kata Megawati di artikel tersebut, tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur.
Dalam gerak alam raya disebut “hukum alam”. Dalam gerak sejarah dinamakan “hukum sejarah”. Hanya soal waktu, cepat atau lambat, fajar itu niscaya menyingsing dengan jalannya sendiri.