JAKARTA, KOMPAS.com- Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno yang akrab disapa Romo Magnis menjadi salah satu ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/4/2024) kemarin.
Romo Magnis yang dihadirkan oleh kubu Ganjar-Mahfud selaku pihak pemohon dalam perkara tersebut banyak memaparkan persoalan etika seorang presiden ketika memberikan keterangan di hadapan sidang.
Salah satu poin keterangan Romo Magnis yang menjadi sorotan pada sidang kemarin adalah soal presiden yang tidak ubahnya seperti pemimpin organisasi mafia bila menggunakan kekuasaannya hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.
"Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia," kata Romo Magnis, Selasa.
Baca juga: Romo Magnis Sebut Presiden Mirip Mafia jika Gunakan Kekuasaan untuk Untungkan Pihak Tertentu
Romo Magnis mengungkapkan, presiden adalah penguasa atas seluruh masyarakat yang harus sadar bahwa tanggung jawabnya adalah keselamatan seluruh bangsa, sehingga tidak boleh menggunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan keluarganya.
Dia pun menekankan bahwa seorang presiden harus menjadi milik semua, bukan hanya milik mereka yang memilihnya.
"Kalaupun dia misalnya berasal dari satu partai, begitu dia menjadi presiden segenap tindakannya harus demi keselamatan semua," ujar Romo Magnis.
Romo Magnis lantas mengingatkan bahwa sikap pemerintah yang menguntungkan kepentingannya sendiri dapat menyebabkan situasi tidak aman.
Baca juga: Di Sidang MK, Romo Magnis Sebut Presiden Langgar Etik Berat jika Kerahkan Aparat Menangkan Capres
Sebab, mengutip filsuf Immanuel Kant, dia menyebutkan bahwa masyarakat akan menaati pemerintah apabila bertindak atas dasar hukum yang berlaku.
"Apabila penguasa bertindak tidak atas dasar hukum dan tidak demi kepentingan seluruh masyarakat, melainkan memakai kuasanya untuk menguntungkan kelompok, kawan, keluarganya sendiri, motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang," ujar Romo Magnis.
"Akibatnya, hukum dalam masyarakat tidak lagi aman, negara hukum akan merosot menjadi negara kekuasaan dan mirip dengan wilayah kekuasaan mafia," katanya lagi.
Dalam konteks Pilpres 2024, Romo Magnis juga menyebutkan bahwa presiden dapat dikatakan melanggar etik berat jika menggunakan kekuasaannya untuk mendukung pasangan kandidat dikehendaki menang.
Baca juga: Romo Magnis ke Ganjar: Politik Bukan untuk Menangkan Orang Kiri Kanan, tapi Memajukan Bangsa
Namun, menurut dia, sah-sah saja apabila presiden memberi tahu orang lain mengenai kandidat mana yang diharapkan menang dalam pemilihan.
"Tetapi begitu dia memakai kedudukannya, kekuasaannya untuk memberi petunjuk pada ASN (Aparatur Sipil Negara), polisi, militer, dan lain-lain untuk mendukung salah satu paslon (pasangan calon), serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan dalam rangka memberikan dukungan kepada paslon, itu dia secara berat melanggar tuntutan etik," ujar Romo Magnis.
Sebab, dia lagi-lagi mengingatkan bahwa presiden seharusnya bertindak tanpa membeda-bedakan warganya, termasuk politisi yang mengikuti kontestasi pemilu.
Romo Magnis juga menekankan, penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik adalah bentuk pelanggaran etik.
Baca juga: Romo Magnis Singgung Politik Uang di RI Terlalu Mahal, Sulit Wakili Orang Kecil
Dia menegaskan, bansos bukanlah milik presiden, melainkan bangsa Indonesia yang pembagiannya merupakan tanggung jawab kementerian terkait.
"Kalau presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi itu pencurian, ya, pelanggaran etika," kata Romo Magnis.
Namun, dalam keterangannya, Romo Magnis tidak menyebut presiden yang dimaksud. Dia hanya menjabarkan dari sisi etika.
Keterangan yang diberikan Romo Magnis lantas dibalas oleh Tim Pembela Prabowo-Gibran dengan berbagai pembelaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Padahal, nama Jokowi tidak disebut ketika Romo Magnis memberi keterangan.
Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, Hotman Paris Hutapea, misalnya, membantah pernyataan Romo Magnis yang menyebut politisasi bansos sebagai pelanggaran etika.
Pengacara kondang itu membela Jokowi dengan menyebut mantan Wali Kota Solo itu tidak pernah membagikan bansos di luar data yang dimiliki pemerintah.
Baca juga: Tanggapi Romo Magnis, Hotman Paris: Presiden Tak Pernah Bagikan Bansos di Luar Data
Menurut dia, pemerintahan Jokowi justru bertindak baik karena membantu fakir miskin, berkaca pada anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yagn mencapai Rp 408 triliun pada 2021 dan meningkat jadi Rp 431 pada 2022.
"Pada waktu itu enggak ada Pemilu tapi sudah 40 persen lebih bantuan sosial dan perlinsos," kata Hotman.
Kemudian, Hotman bertanya apakah Romo Magnis mengetahui bansos yang dibagikan menyasar orang-orang yang sudah ditargetkan (targeted) untuk fakir miskin mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Data penduduk itu sudah ada semuanya. Presiden hanya simbolik di awal membagikan bansos sesuai data yang sudah ada di kementerian masing-masing," ujar Hotman.
Oleh karena itu, Hotman menyatakan jokowi tidak pernah membagikan bansos di luar data yang ada.
"Dari mana Romo tahu seolah Presiden itu seolah mencuri uang bansos untuk dibagikan, padahal Pak Romo tidak tahu praktik pembagian itu sudah ada datanya, lengkapnya, namanya KPM (Keluarga Penerima Manfaat)," katanya.
Baca juga: Romo Magnis Sebut Presiden Mirip Mafia jika Gunakan Kekuasaan untuk Untungkan Pihak Tertentu
Sementara itu, Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendara menuding keterangan Romo Magnis adalah bentuk penghakiman.
"Sangat disayangkan ada beberapa judgement (bahwa) presiden melanggar ini, melanggar ini, kejahatan, yang saya kira tidak dalam posisi seperti itu seorang saksi dihadirkan," kata Yusril selepas sidang.
Dia mengaku sempat berekspektasi bahwa Romo Magnis akan melontarkan pendapat yang filosofis dan akademis di dalam sidang.
"Kita menghormati beliau sebagai filsuf dan sekaligus beliau adalah seorang pastur Katolik yang memberikan suatu pendapat yang sebenarnya normatif dan filosofis sebenarnya. Itu yang kita harapkan sebenarnya," ujarnya.
"Tapi, semuanya kami serahkan kepada majelis hakim," kata Yusril lagi.
Baca juga: Sayangkan Keterangan Romo Magnis di Sidang MK, Yusril: Itu Judgement
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.