Itu lah yang dilakukan Hugo Caves di Venezuela, konstitusi dan peraturan perundang-undangan dipreteli demi kepentingan penguasa.
Javier Corrales (2015) menggambarkan praktik Caves sebagai autocratic legalism —hukum dibentuk untuk mengikuti hasrat penguasa.
Corrales menjelaskan autocratic legalism dengan “penggunaan, penyalahgunaan, dan non-penggunaan hukum” untuk mengonsolidasikan kekuatan politik.
Chavez menggunakan undang-undang dengan mendorong parlemen untuk mengesahkan undang-undang baru yang memberinya legitimasi, menyalahgunakan hukum dengan sengaja mengubah penafsiran hukum agar sesuai dengan tujuannya, dan menghilangkan hukum yang menghalangi tujuannya.
Merujuk pendekatan Corrales, Kim Lane Scheppele (2018) menggambarkan "autocratic legalism" dengan melihat perilaku para penguasa yang menggunakan hukum sebagai alat konsolidasi kekuatan politik.
Scheppele Lalu menyebutnya sebagai otokrat baru. Otokrat baru yang dimaksud Scheppele ialah pemimpin yang dipilih melalui pemilu demokratis, namun kemenangan itu diterjemahkan dengan tindakan-tindakan yang inkonstitusional dan bertentangan dengan kehendak rakyat.
Para otokrat baru ini ketika telah terpilih, maka segala tindakannya selalu dilabeli sebagai tujuan mulia karena merupakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Gejala autocratic legalism telah menjangkit negara-negara demokrasi modern. Gejalanya bisa diamati secara kasat mata.
Zainal Arifin Mochtar dan Idul Rishan (2022) menggambarkan tanda-tanda gejala autocratic legalism: pertama, kooptasi partai yang berkuasa di parlemen; kedua, menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaan; ketiga, menggangu independensi lembaga peradilan.
Tanda-tanda itu kiranya menunjukan gejalanya tengah berlangsung. Kooptasi partai politik di parlemen dilakukan dengan memainkan politik sandera kepada elite-elite partai yang bergabung di kabinet.
Bila terdapat sinyal melawan rezim, tak segan data intelijen dibuka untuk —setidak-tidaknya memberi teror.
Di Golkar misalnya, setelah sebelumnya dugaan sinyal dukungan ke paslon lain, tak lama Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartato (Menteri Koordinator Perekenomian) dan Ario Bimo (Menteri Pemuda dan Olahraga) terseret kasus dugaan korupsi.
Sementara nasib sial melanda dua kader Nasdem yang sebelumnya lebih dulu mendeklarasikan capresnya. Sekjen Nasdem Johnny G. Plate (Menteri Kominfo) dan Yasin Limpo (Menteri Pertanian) ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi.
Sebagai langkah hukum, tindakan melawan korupsi patut diapresiasi. Namun tak bijak manakala harus ditentukan oleh sikap politik partainya.
Begitu juga penggunaan hukum dan kekuasaan yudisial menjadi kesatuan paket yang menguatkan.