Hukum yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang fenomenal (Putusan MK No. 91/PUU-XXI/2023) sukar diterima akal sehat.
Kendati dalam beberapa putusannya MK dapat saja menjadi positif legislator, namun putusan a quo jelas telah meruntuhkan integritas MK sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi.
Diperparah lagi dengan adanya pelanggaran etik berat oleh ketua MK, Anwar Usman yang notabene memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak yang diuntungkan dari putusan a quo.
Apabila otoritarianisme menolak hukum dalam menyukseskan agendanya, autocratic legalism justru menggunakan instrumen hukum agar tindakannya seolah-olah memiliki dasar hukumnya.
Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman adalah bagian penting dari semua agenda ini. Pos-pos penting bagi proses bekerjanya hukum terkooptasi secara terstruktur.
Dari proses pembuatan hukum (bahkan hukum dapat dibuat oleh MK) dan penegakan hukum (law enforcement) telah dikondisikan sedemikian rupa. Sehingga mekanisme bekerjanya hukum menjadi jalan mulus bagi kepentingan penguasa.
Kita patut waspada pada gejala autocratic legalism, karena daya rusaknya dapat membinasakan prinsip negara hukum dan demokrasi.
Kita patut mencurigai setiap tindak penguasa ketika menyimpangi hukum, apalagi dengan nada abai selalu diarahkan untuk digugat saja ke Mahkamah Konstitusi.
Karena bisa jadi, saat kita sedang tertidur lelap di malam hari, ada pihak yang tengah bermufakat di ruang keluarga.
Situasi belakangan mengharuskan kita untuk lebih banyak melek, sembari membaca kembali buku-buku yang memperingatkan kekuasaan otokrat dalam bentang sejarah negara Konoha.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.