Pertumbuhan ekonomi Rusia turun drastis dan tidak pernah lagi menyentuh angka 8 persen sampai hari ini.
Tak lupa, ditambah lagi dengan ancaman geopolitik dari peristiwa "Arab Spring" tahun 2011, yang dianggap Putin sangat berpeluang melebar ke Rusia.
Sehingga setahun kemudian, Putin membalik arah politik negeri Beruang Merah dengan kembali menduduki kursi Presiden Rusia, meskipun ditolak oleh para aktivis demokrasi Rusia kala itu. Putin bertahan di posisi tersebut hingga hari ini, tanpa banyak perlawanan berarti.
Jadi perolehan suara Putin hari ini jelas menggambarkan betapa dominannya pemegang sabuk hitam olahraga beladiri judo tersebut dalam 20 tahun terakhir di arena perpolitikan Rusia.
Putin adalah kepala negara Rusia dengan masa jabatan terlama kedua di benua Eropa setelah Presiden Belarus, Aleksander Lukasshenko.
Bahkan dikabarkan, tiga kandidat lainnya dalam kontestasi pilpres Rusia pada 2024 ini sebenarnya adalah kandidat yang telah disetujui terlebih dahulu oleh Putin untuk ikut berlaga di dalam pemilihan.
‘Pengondisian’ ini tak berbeda dengan fakta atas Dmitry Anatolyevich Medvedev, yang sempat di-setting oleh Putin menjadi Presiden Rusia selama empat tahun, 2008-2012.
Jika kita kembali ke belakang, pada mulanya, sepanjang 2000 - 2008, Barat masih memandang positif pelaksanaan demokrasi di Rusia. Bahkan dunia Barat cukup apresiatif saat Putin tidak lagi maju di pemilihan presiden 2008.
Walaupun kala itu, keputusannya untuk mundur selangkah menjadi Perdana Menteri Rusia mengundang kecurigaan publik. Namun setelah Putin kembali ke posisi Presiden di tahun 2012, konsep demokrasi Rusia sudah kurang dianggap lagi oleh dunia Barat.
Keberhasilan Putin menundukkan para oligar sebagai pendukung setianya memang membuat Putin menjadi satu-satunya figur sentral di dalam perpolitikan negeri beruang merah tersebut.
Sejalan dengan itu, satu per satu oposisi, yang biasanya hanya mengandalkan popularitas personal, harus bermigrasi ke negara lain atau meninggal tanpa penjelasan lengkap.
Terakhir, Alexei Navalny, pemimpin oposisi Rusia berlatar pengacara dan pegiat antikorupsi dinyatakan meninggal pada 16 Februari 2024 di penjara di Siberia, justru beberapa waktu sebelum pemilihan presiden Rusia dilangsungkan.
Nah, apa yang terjadi dalam arena politik Rusia sepuluhan tahun terakhir, banyak sedikitnya, juga pelan-pelan mulai terlihat benihnya di Indonesia, terutama setelah periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Di sini saya mengatakan benih, alias tidak menyamaratakan, di mana tanda-tanda awalnya mulai terlihat.
Upaya-upaya beberapa pihak "menyentralkan" posisi Jokowi untuk keuntungan elektoral justru nampaknya berbuah buruk bagi demokrasi.
Sentralisasi peran Jokowi, yang sebenarnya sudah dalam masa "lame duck" melahirkan permainan elektoral yang sangat merugikan lawan-lawan politik Jokowi di pemilihan presiden 2024.
Dalam kapasitasnya sebagai presiden yang dituntut untuk menyelenggarakan pemilihan dengan baik dan jujur, Jokowi justru terjebak ke dalam permainan "wewenang negara" yang membuat lapangan elektoral tidak lagi bersifat "level playing field" bagi lawan-lawannya.
Pasalnya, tidak ada kandidat, selain paslon yang didukung Istana, yang memiliki jaringan kekuasaan dan keuangan sebesar pemerintahan.
Walhasil, pasangan yang didukung dan diperjuangkan secara "resmi" oleh Jokowi menang telak satu putaran, meskipun pemilihan diikuti oleh tiga pasangan calon (paslon).