Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Putin, Jokowi, dan Demokrasi Kita

Kompas.com - 20/03/2024, 06:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Raihan suara yang nyaris 60 persen memang tak semencolok raihan suara Putin. Namun untuk Indonesia yang beberapa kali telah menyelenggarakan pemilihan serupa alias diikuti oleh beberapa paslon, raihan Paslon nomor dua memang tidak berpreseden.

Bagi Jokowi, Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, dan para minion-nya, raihan tersebut tentu prestasi tanpa preseden. 

Namun bagi sebagian pihak, terutama yang sangat fokus dengan kesehatan demokrasi Indonesia, raihan tersebut justru mengundang tanda tanya.

Ada mesin politik apa yang sedang bekerja di belakang paslon 02, sehingga menghasilkan kemenangan tanpa preseden tersebut?

Apapun mesin politik tersebut, banyak pihak meyakini dan berpendapat bahwa paslon 01 dan 03 sebenarnya tidak berhadapan dengan paslon 02, tapi berhadapan dengan pemerintahan Jokowi yang ditempeli di depannya gambar paslon 02.

Sebagaimana saya sebutkan di atas, keberhasilan beberapa pihak dalam menyentralisasi politik nasional ke dalam satu nama, yakni nama Jokowi, juga mendorong terkanalisasinya kekuatan ekonomi politik ke satu nama tersebut, yang membuat posisi Jokowi secara ekonomi politik akhirnya "agak mirip" dengan posisi Vladimir Putin.

Boleh jadi kurang tepat disebut sebagai pemimpin "koalisi oligarki", tapi banyak sedikitnya ada indikasi ke sana.

Bermodalkan jabatan presiden, Jokowi tidak saja berhasil memobilisasi segala sumber daya negara yang bisa dimobilisasi untuk memuluskan kemenangan paslon yang ia dukung, tapi juga oleh banyak pengamat dikatakan terkesan menebar ketakutan kepada kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang ada untuk mendukung paslon lain selain yang didukung oleh Jokowi, karena berpotensi akan berhadapan dengan presiden yang sedang berkuasa.

Meski begitu, tentu Indonesia masih lebih beruntung ketimbang Rusia dalam hal demokrasi. Paslon nomor urut 01 dan 03 bukanlah paslon boneka Jokowi.

Meskipun terpukul secara telak di dalam kancah pemilihan presiden 2024 karena hal-hal yang saya sebutkan di atas, kekalahan mereka masih menuai kebanggaan bagi Indonesia mengingat masih ada kekuatan ekonomi politik di negeri ini yang menolak menjadikan Jokowi sebagai Vladimir Putin.

Karena itu, besar harapan kita ke depan bahwa kedua kandidat yang kalah beserta dengan kekuatan politik yang mendukungnya secara tegas dan berani memilih jalan oposisi.

Pun kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang telah lebih dulu melihat indikasi kurang baik di balik segala langkah politik Presiden Jokowi selama ini untuk secara konsisten tetap bersuara lantang melawan segala kemungkinan "Putinisasi" politik di Indonesia.

Artinya, publik harus tetap mewaspadai agar jangan sampai serah sambut kekuasaan dari Jokowi kepada Prabowo menjadi momen yang sama dengan serah sambut kekuasaan Rusia dari Boris Yeltsin kepada Vladimir Putin, yang akhirnya membuat demokrasi Rusia seperti hari ini.

Pasalnya tendesi global memang sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda kurang kondusif bagi berkembangnya demokrasi.

Keputusan Xi Jinping dan Vladimir Putin menghapus masa jabatan presiden China dan Rusia yang membawa mereka berpeluang untuk berkuasa seumur hidup meningkatkan citra pemerintahan bergenre autokratik di level global, mengingat kedua negara ini memang sangat vokal menentang dominasi Barat yang berlatar demokrasi di satu sisi dan moncernya kinerja ekonomi China dalam 30 tahun terakhir di sisi lain.

Menguatnya citra pemimpin autokratik kemudian memicu pula kekuatan "far right" di dunia Barat dan Asia yang juga cenderung kurang demokratis seperti terpilihnya Donald Trump tahun 2016 lalu di Amerika Serikat, Viktor Mihály Orbán di Hungaria, Boris Johnson di Inggris, Joel Bolsonaro di Brasil, Narendra Modi di India, bahkan Recep Tayyip Erdogan di Turki yang semuanya justru lahir dari proses pemilihan demokratis.

Konstelasi geopolitis yang kurang apresiatif terhadap demokrasi pada akhirnya melahirkan kekhawatiran di Indonesia bahwa demokrasi kita pun berpeluang melahirkan kekuatan baru yang sejatinya kurang berkomitmen terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Dalam konteks inilah oposisi dan gerakan-gerakan prodemokrasi harus terus digaungkan. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com