Salin Artikel

Putin, Jokowi, dan Demokrasi Kita

Posisi kedua dengan jarak yang sangat lebar diduduki oleh Nikolai Kharitonov dari Partai Komunis dengan 4,6 persen suara.

Vladislav Davankov dari Partai Rakyat Baru memperoleh 4,2 persen suara dan Leonid Slutsky, Pemimpin LDPR (Partai Demokratik Liberal Rusia) memperoleh 3 persen suara. Sementara itu, sekitar 1,2 persen suara pada pemilu Rusia dinyatakan tidak sah.

Distribusi perolehan suara di pemilihan Rusia kali ini semakin mengundang tanya. Pemilihan yang diikuti oleh empat pasang calon, secara matematis, sulit untuk dimenangkan dengan angka yang sangat telak dalam sekali putaran. Namun politik di Rusia tentu tidak sama dengan di negara-negara demokrasi Barat.

Kegagalan transisi demokrasi di era mantan Presiden Rusia Boris Nikolayevich Yeltsin dan awal masa pemerintahan Vladimir Putin adalah pangkal perkaranya.

Secara ekonomi, gagalnya resep "shock therapy" ala Eropa Timur yang diterapkan di Rusia justru melahirkan sistem ekonomi yang sangat tidak sehat.

Privatisasi yang menjadi salah satu "obat" ala Washington Consensus justru melahirkan oligar-oligar baru di Rusia, yang menguasai berbagai bekas perusahaan negara peninggalan rezim komunis Uni Soviet.

Sebagai informasi, resep Washington Consensus adalah berupa kebijakan liberalisasi cepat, yang terdiri dari kebijakan liberalisasi harga-harga (penghapusan subsidi), privatisasi BUMN, deregulasi atau pelonggaran aturan-aturan ekonomi, debirokratisasi atau mengurangi peran pemerintah dalam bidang ekonomi, dan liberalisasi kurs mata uang (floating foreign exchange).

Kegagalan resep shock therapy tersebut tentu dipengaruhi faktor politik. Yeltsin yang sempat diandalkan oleh Amerika Serikat dalam melakukan liberalisasi ekonomi di Rusia justru bermain mata dengan para oligar.

Bahkan, Yeltsin mengandalkan barisan oligar untuk memuluskan eksistensi kekuasaannya selama hampir sepuluh tahun.

Dan dalam rangka penyelamatan politik (political escape) pula Yeltsin menggandeng Putin masuk ke pusat kekuasaan Rusia di Kremlin.

Keberhasilan Putin dalam menyelamatkan Anatoly Sobchak; mantan Wali Kota St. Petersburg sekaligus mentor Putin dalam politik, dari kasus korupsi, menarik perhatian Yeltsin yang kala itu merupakan Presiden Rusia.

Dengan kata lain, Putin melanjutkan pembelokan liberalisasi ekonomi politik Rusia yang telah dimulai oleh Yeltsin.

Putin berhasil memindahkan nyaris semua oligar-oligar yang berada di belakang Yeltsin menjadi pendukung setianya. Sementara oligar yang dianggap tak sejalan, satu persatu bisnis dan perusahaannya dipreteli dan pemiliknya diasingkan ke luar negeri.

Nah, dengan kondisi ekonomi politik demikian, tentu sudah bisa dibayangkan seperti apa realitas demokrasi di Rusia saat ini, yakni demokrasi prosedural berbasis oligarki.

Artinya, dengan menyubordinasi "nyaris" semua sumber daya dan kekuatan ekonomi yang ada di Rusia, maka tidak terdapat sedikitpun insentif, baik ekonomi maupun politik, bagi oposisi untuk lahir, "stand up" berkompetisi, apalagi melawan Putin.

Kondisi ekonomi di masa awal Putin berkuasa, yakni dari tahun 2000-2008, terbilang cukup baik secara makro. Ekonomi Rusia tumbuh "ciamik" dengan rata-rata 8 persen, walaupun sangat dominan bergantung kepada sumber daya alam (SDA) minyak dan gas (migas) Rusia yang sangat besar.

Karena kondisi ekonomi yang cukup baik tersebut, kekuasaan Putin juga berjalan baik lantaran didukung oleh kepuasan publik yang cukup tinggi. Namun situasi berbalik arah di tahun 2008, di mana Rusia sempat mengalami tekanan ekonomi sebagai imbas dari krisis finansial 2008.

Lalu menjelang tahun 2012, saat itu Putin menjabat sebagai Perdana Menteri, harga minyak dunia terjun bebas. Ekonomi Rusia diterjang penurunan drastis harga minyak dunia, yang memangkas pendapatan Rusia hampir setengahnya.

Pertumbuhan ekonomi Rusia turun drastis dan tidak pernah lagi menyentuh angka 8 persen sampai hari ini.

Tak lupa, ditambah lagi dengan ancaman geopolitik dari peristiwa "Arab Spring" tahun 2011, yang dianggap Putin sangat berpeluang melebar ke Rusia.

Sehingga setahun kemudian, Putin membalik arah politik negeri Beruang Merah dengan kembali menduduki kursi Presiden Rusia, meskipun ditolak oleh para aktivis demokrasi Rusia kala itu. Putin bertahan di posisi tersebut hingga hari ini, tanpa banyak perlawanan berarti.

Jadi perolehan suara Putin hari ini jelas menggambarkan betapa dominannya pemegang sabuk hitam olahraga beladiri judo tersebut dalam 20 tahun terakhir di arena perpolitikan Rusia.

Putin adalah kepala negara Rusia dengan masa jabatan terlama kedua di benua Eropa setelah Presiden Belarus, Aleksander Lukasshenko.

Bahkan dikabarkan, tiga kandidat lainnya dalam kontestasi pilpres Rusia pada 2024 ini sebenarnya adalah kandidat yang telah disetujui terlebih dahulu oleh Putin untuk ikut berlaga di dalam pemilihan.

‘Pengondisian’ ini tak berbeda dengan fakta atas Dmitry Anatolyevich Medvedev, yang sempat di-setting oleh Putin menjadi Presiden Rusia selama empat tahun, 2008-2012.

Jika kita kembali ke belakang, pada mulanya, sepanjang 2000 - 2008, Barat masih memandang positif pelaksanaan demokrasi di Rusia. Bahkan dunia Barat cukup apresiatif saat Putin tidak lagi maju di pemilihan presiden 2008.

Walaupun kala itu, keputusannya untuk mundur selangkah menjadi Perdana Menteri Rusia mengundang kecurigaan publik. Namun setelah Putin kembali ke posisi Presiden di tahun 2012, konsep demokrasi Rusia sudah kurang dianggap lagi oleh dunia Barat.

Keberhasilan Putin menundukkan para oligar sebagai pendukung setianya memang membuat Putin menjadi satu-satunya figur sentral di dalam perpolitikan negeri beruang merah tersebut.

Sejalan dengan itu, satu per satu oposisi, yang biasanya hanya mengandalkan popularitas personal, harus bermigrasi ke negara lain atau meninggal tanpa penjelasan lengkap.

Terakhir, Alexei Navalny, pemimpin oposisi Rusia berlatar pengacara dan pegiat antikorupsi dinyatakan meninggal pada 16 Februari 2024 di penjara di Siberia, justru beberapa waktu sebelum pemilihan presiden Rusia dilangsungkan.

Nah, apa yang terjadi dalam arena politik Rusia sepuluhan tahun terakhir, banyak sedikitnya, juga pelan-pelan mulai terlihat benihnya di Indonesia, terutama setelah periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

Di sini saya mengatakan benih, alias tidak menyamaratakan, di mana tanda-tanda awalnya mulai terlihat.

Upaya-upaya beberapa pihak "menyentralkan" posisi Jokowi untuk keuntungan elektoral justru nampaknya berbuah buruk bagi demokrasi.

Sentralisasi peran Jokowi, yang sebenarnya sudah dalam masa "lame duck" melahirkan permainan elektoral yang sangat merugikan lawan-lawan politik Jokowi di pemilihan presiden 2024.

Dalam kapasitasnya sebagai presiden yang dituntut untuk menyelenggarakan pemilihan dengan baik dan jujur, Jokowi justru terjebak ke dalam permainan "wewenang negara" yang membuat lapangan elektoral tidak lagi bersifat "level playing field" bagi lawan-lawannya.

Pasalnya, tidak ada kandidat, selain paslon yang didukung Istana, yang memiliki jaringan kekuasaan dan keuangan sebesar pemerintahan.

Walhasil, pasangan yang didukung dan diperjuangkan secara "resmi" oleh Jokowi menang telak satu putaran, meskipun pemilihan diikuti oleh tiga pasangan calon (paslon).

Raihan suara yang nyaris 60 persen memang tak semencolok raihan suara Putin. Namun untuk Indonesia yang beberapa kali telah menyelenggarakan pemilihan serupa alias diikuti oleh beberapa paslon, raihan Paslon nomor dua memang tidak berpreseden.

Bagi Jokowi, Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, dan para minion-nya, raihan tersebut tentu prestasi tanpa preseden. 

Namun bagi sebagian pihak, terutama yang sangat fokus dengan kesehatan demokrasi Indonesia, raihan tersebut justru mengundang tanda tanya.

Ada mesin politik apa yang sedang bekerja di belakang paslon 02, sehingga menghasilkan kemenangan tanpa preseden tersebut?

Apapun mesin politik tersebut, banyak pihak meyakini dan berpendapat bahwa paslon 01 dan 03 sebenarnya tidak berhadapan dengan paslon 02, tapi berhadapan dengan pemerintahan Jokowi yang ditempeli di depannya gambar paslon 02.

Sebagaimana saya sebutkan di atas, keberhasilan beberapa pihak dalam menyentralisasi politik nasional ke dalam satu nama, yakni nama Jokowi, juga mendorong terkanalisasinya kekuatan ekonomi politik ke satu nama tersebut, yang membuat posisi Jokowi secara ekonomi politik akhirnya "agak mirip" dengan posisi Vladimir Putin.

Boleh jadi kurang tepat disebut sebagai pemimpin "koalisi oligarki", tapi banyak sedikitnya ada indikasi ke sana.

Bermodalkan jabatan presiden, Jokowi tidak saja berhasil memobilisasi segala sumber daya negara yang bisa dimobilisasi untuk memuluskan kemenangan paslon yang ia dukung, tapi juga oleh banyak pengamat dikatakan terkesan menebar ketakutan kepada kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang ada untuk mendukung paslon lain selain yang didukung oleh Jokowi, karena berpotensi akan berhadapan dengan presiden yang sedang berkuasa.

Meski begitu, tentu Indonesia masih lebih beruntung ketimbang Rusia dalam hal demokrasi. Paslon nomor urut 01 dan 03 bukanlah paslon boneka Jokowi.

Meskipun terpukul secara telak di dalam kancah pemilihan presiden 2024 karena hal-hal yang saya sebutkan di atas, kekalahan mereka masih menuai kebanggaan bagi Indonesia mengingat masih ada kekuatan ekonomi politik di negeri ini yang menolak menjadikan Jokowi sebagai Vladimir Putin.

Karena itu, besar harapan kita ke depan bahwa kedua kandidat yang kalah beserta dengan kekuatan politik yang mendukungnya secara tegas dan berani memilih jalan oposisi.

Pun kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang telah lebih dulu melihat indikasi kurang baik di balik segala langkah politik Presiden Jokowi selama ini untuk secara konsisten tetap bersuara lantang melawan segala kemungkinan "Putinisasi" politik di Indonesia.

Artinya, publik harus tetap mewaspadai agar jangan sampai serah sambut kekuasaan dari Jokowi kepada Prabowo menjadi momen yang sama dengan serah sambut kekuasaan Rusia dari Boris Yeltsin kepada Vladimir Putin, yang akhirnya membuat demokrasi Rusia seperti hari ini.

Pasalnya tendesi global memang sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda kurang kondusif bagi berkembangnya demokrasi.

Keputusan Xi Jinping dan Vladimir Putin menghapus masa jabatan presiden China dan Rusia yang membawa mereka berpeluang untuk berkuasa seumur hidup meningkatkan citra pemerintahan bergenre autokratik di level global, mengingat kedua negara ini memang sangat vokal menentang dominasi Barat yang berlatar demokrasi di satu sisi dan moncernya kinerja ekonomi China dalam 30 tahun terakhir di sisi lain.

Menguatnya citra pemimpin autokratik kemudian memicu pula kekuatan "far right" di dunia Barat dan Asia yang juga cenderung kurang demokratis seperti terpilihnya Donald Trump tahun 2016 lalu di Amerika Serikat, Viktor Mihály Orbán di Hungaria, Boris Johnson di Inggris, Joel Bolsonaro di Brasil, Narendra Modi di India, bahkan Recep Tayyip Erdogan di Turki yang semuanya justru lahir dari proses pemilihan demokratis.

Konstelasi geopolitis yang kurang apresiatif terhadap demokrasi pada akhirnya melahirkan kekhawatiran di Indonesia bahwa demokrasi kita pun berpeluang melahirkan kekuatan baru yang sejatinya kurang berkomitmen terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Dalam konteks inilah oposisi dan gerakan-gerakan prodemokrasi harus terus digaungkan. Semoga.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/20/06091241/putin-jokowi-dan-demokrasi-kita

Terkini Lainnya

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke