SEJAK wacana pemindahan ibu kota bergulir, hingga ditetapkannya “Nusantara” sebagai Ibu Kota Negara baru melalui pengesahan Undang-Undang No 3 Tahun 2022 lalu, kedudukan DKI Jakarta sebagai ibu kota otomotis harus tergantikan.
Kini, ‘kekhususan” yang dimiliki Jakarta tengah bergeser sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.
Dalam rangka menyesuaikan dinamika dan kebutuhan hukum tersebut, Pemerintah dan DPR tengah merevisi UU No. 29 Tahun 2007 sebagai payung hukum kota Jakarta saat ini.
Namun, regulasi yang disiapkan untuk menyesuaikan kebutuhan hukum tersebut rasanya tidak sejalan dengan kebutuhan negara demokrasi dan masyarakat saat ini.
Hal tersebut tercermin dari pengaturan Pasal 10 ayat (2) RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang mengatur bahwa gubernur dan wakil gubernur DKJ akan ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh presiden dengan memperhatikan usul DPRD.
Pengaturan dalam pasal tersebut tengah menimbulkan penolakan besar. Tak hanya dari masyarakat, bahkan mayoritas fraksi di DPR turut mengecam keberadaan pasal tersebut. Celakanya, RUU tersebut direncakan segera disahkan pada April mendatang.
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menjadi dalih dilakukanya pemilihan gubernur sebagai kepala daerah Provinsi DKJ melalui penunjukan langsung oleh presiden.
Benar, tidak ada satu pasal pun dalam konstitusi kita saat ini yang mengharuskan Pilkada dilakukan melalui pemilihan secara langsung. Adapun Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 hanya mengatur bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No.072-073/PUU-II/2004 serta putusan No. 97/PUU-XI/2013, makna “demokratis” tidak selalu merujuk pada pemilihan langsung.
Baik, pemilihan langsung maupun tidak langsung, keduanya dapat dikategorikan sebagai pemilihan yang demokratis dan hal ini menjadi open legal policy bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.
Hal ini tidak terlepas pula dari ketentuan Pasal 18B UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
Artinya, setiap daerah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan memiliki kebebasan untuk menentukan mekanisme pemilihan kepala daerahnya, dan hal ini tetap dianggap sebagai cara demokratis.
Pasal tersebut pun terimplementasi pada pemilihan kepala daerah di Yogyakarta yang dilakukan melalui pengukuhan.
Hal ini lantaran Yogyakarta memiliki keistimewaan yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta kedudukan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Karena itu, pengukuhan tersebut dianggap sebagai metode demokratis oleh masyarakat Yogyakarta.