Saya teringat pada ungkapan penulis Paraguay, Eligio Alaya (1915). Ia menulis demikian,”Ketika kita memerangi kemiskinan, korupsi menjadi target penting dari upaya kita. Korupsi, baik dalam pemerintahan maupun swasta, adalah perampasan terkeji yang kita rasakan. Korupsi akan merampok fakir miskin dan kaum melarat sebelum yang lainnya. Korupsi menghalangi anak kita mendapatkan pendidikan yang layak sehingga merusak fondasi masa depan mereka.” (Korupsi yang Memiskinkan, 2011, halaman 138).
Menurut catatan ICW, kerugian negara akibat korupsi dalam periode 2013-2022 minimal Rp 238,14 triliun.
Jumlah sangat besar yang bisa digunakan untuk membiayai proyek makan siang gratis atau mengentaskan sebagian warga yang terjerat dalam belitan kemiskinan.
Aktor pelaku korupsi pun sudah menjarah ke semua lini. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD pernah mengatakan, “di darat, di laut, di udara ada korupsi.”
Kegelisahan soal korupsi bukan hanya kegelisahan Kardinal Suharyo dan Buya Haedar, melainkan kegelisahan bangsa ini.
Buya Haedar dalam acara Gagas RI di Menara Kompas beberapa waktu lalu, mengingatkan kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi merupakan masalah kemanusiaan besar yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggir.
Apalagi jika ketiga masalah itu berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berbagai bentuk eksploitasi. Itu semua menggambarkan keserakahan manusia di era post-kolonialisme.
Haedar menyebut tiga agenda krusial bangsa. Pertama, korupsi yang menggila. Kedua, utang luar negeri yang sudah mendekati angka Rp 8.000 triliun yang menurut pemerintah tetap dalam posisi aman terkendali, tetapi bagi sebagian pihak mencemaskan. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.
Berita-berita bohong yang bertebaran dan media sosial dan era post-truth juga menjadi ancaman tersendiri karena bakal membentuk persepsi sendiri bagi mayoritas masyarakat.
Data dari World Population Review 2023 menyebut, tingkat kecerdasan orang Indonesia berada di peringkat ke-128 dunia dengan skor 78,45. Jepang berada di tingkat teratas dengan skor 106,48.
Pekerjaan rumah bangsa ini menumpuk. Pembusukan kelembagaan terjadi di sejumlah lembaga. Hampir semua lembaga punya masalah kelembagaan.
Tingkat kepercayaan publik pada politisi semakin meningkat. Pada sisi lain ada gejala peningkatan kepemimpinan populis non-demokratis.
Di tengah pertarungan kepentingan elite politik untuk memperbincangkan Pemilu 2024 dengan segala kontroversinya serta pembicaraan mengenai power sharing, posisi masyarakat sipil, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dunia kampus amat dibutuhkan untuk membuat peta jalan restorasi Indonesia 2024.
Dan, Muhammadiyah dan tentunya ormas lain, bisa mengambil peran di sana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.