Salin Artikel

Asa Kardinal Suharyo untuk Muhammadiyah, Bantu Atasi Korupsi

Milad terasa istimewa karena dirayakan dengan peluncuran buku yang berisi testimoni 27 penulis mengenai kiprah dan sosok Haedar Nashir. Buku itu diberi judul “Jalan Baru – Moderasi Beragama”.

Haedar terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, dan terpilih lagi untuk periode 2022-2027.

Penerbitan buku otobiografi itu sejatinya kurang disetujui Haedar. “Saya kurang setuju dengan otobiografi,” ujar Haedar, Senin malam itu.

Namun, Haedar tak bisa mengelak saat Fajar Riza Ul Haq dari Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis PP Muhammadiyah menyodorkan draf buku siap cetak yang berisi testimoni para sahabat Haedar Nashir.

Hadir dalam peluncuran buku itu Kepala Polri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Sekretaris Umum PP Muhamadiyah Abdul Mukti, Wakil Presiden (2004-2009) dan (2014-2019) Jusuf Kalla, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharto, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia Mgr Antonius Benjamin, dan sejumlah kader Muhammadiyah.

Saat membahas buku bersama Jusuf Kalla, Susi Pudjiastuti, dan Abdul Mukti, Kardinal Suharyo mengapresiasi transformasi Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Haedar, sosok yang awalnya bercita-cita menjadi lurah.

Kardinal mengutip filsuf Rene Decartes (1596-1650), cogito ergo sum atau “aku berpikir maka aku ada.” Kini, yang terjadi di bangsa ini malah, “aku berbohong, maka aku ada.”

“Kami berharap Muhammadiyah ikut membantu mentransformasikan bangsa dari penyakit bangsa, korupsi dan kebohongan,” ucapnya. Kebohongan memang menjadi catatan besar bangsa ini.

Buku Jalan Tengah banyak menyoroti sikap moderat Haedar dalam menghadapi tantangan keagamaan.

Seperti Hilman Latief yang menulis, “Menata Ideologi Gerakan Muhammadiyah dengan Jurnalisme Intelektual."

Atau tulisan Ahmad Najib Burhani dan Muhammad Nur Prabowo Setyabudi tentang "Penjaga Gawang Ideologi Muhamadiyah", atau Sudhamek AWK yang menulis, "Soekarno, Muhammadiyah dan Pancasila.”

Dalam sejumlah wawancara saya di kanal YouTube Backtobdm, ditemui hal serupa, korupsi adalah penyakit komorbid bangsa ini. Saat saya bertanya pada aktivis hak asasi manusia Usman Hamid tentang masalah besar bangsa ini, Usman menjawab pendek: korupsi!

Transparency Internasional dalam rilis resminya menulis, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi.

CPI Indonesia 2022 berada di skor 34/100 dan berada pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan drastis sejak 1995, kata Wawan Suyatmiko, Deputi Sekjen Transparency Internasional Indonesia.

Mengutip TII, situasi Indonesia pada CPI 2022 juga semakin tenggelam di posisi 1/3 negara terkorup di dunia dan jauh di bawah rata-rata skor CPI di negara Asia Pasifik, yaitu 45.

Indonesia berada dalam satu klaster dengan Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone dengan skor 34. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.

Perang melawan korupsi, kolusi dan nepotisme yang digelorakan semangat reformasi 1998 seakan dilupakan.

Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kini menjadi teks yang tak punya nyawa. Tap MPR tersebut dilahirkan dengan pengorbanan nyawa rakyat dan mahasiswa untuk mengadili Soeharto dan kroninya: mungkin juga sudah dilupakan.

Orde Reformasi gagal mengadili Soeharto dan kroni karena Soeharto dinyatakan unfit to trial.

Semangat besar untuk memerangi kolusi dan nepotisme, kini malah kehilangan energi. Kini, nepotisme malah dilakukan tanpa rasa malu dengan memaafkan jalur yang seakan demokratis dan tidak mengindahkan prinsip meritokrasi dan kaderisasi.

Berbagai kritik terhadap politik dinasti dijawab dengan simpel, “Biarlah rakyat yang menilai.”

Bangsa ini dihadapkan pada kemunafikan yang akut sebagaimana ditengarai Mochtar Lubis tentang Manusia Indonesia. Selalu berbeda apa yang dikatakan dan yang apa yang dilakukan.

Komitmen memperkuat KPK, tapi yang terjadi adalah mengebiri KPK. Komitmen menegakkan hukum, tapi justru memanfaatkan hukum.

Menjarah uang rakyat melalui korupsi sama dengan menjarah piring orang miskin untuk makan.

Melalui pemberitaan media massa, publik menyaksikan bagaimana elite politik, sejumlah menteri selalu dikaitkan dengan isu korupsi. Mereka disebut-sebut memanfaatkan pengaruh untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi perizinan menjadi ladang menumpuk kekayaan. Hari ini dikejar KPK, besok sudah tampil dalam kampanye pasangan calon presiden.

Hukum telah menjadi alat sandera penundukan politik, sementara partai politik telah menjadi bungker politisi korup.

Saya teringat pada ungkapan penulis Paraguay, Eligio Alaya (1915). Ia menulis demikian,”Ketika kita memerangi kemiskinan, korupsi menjadi target penting dari upaya kita. Korupsi, baik dalam pemerintahan maupun swasta, adalah perampasan terkeji yang kita rasakan. Korupsi akan merampok fakir miskin dan kaum melarat sebelum yang lainnya. Korupsi menghalangi anak kita mendapatkan pendidikan yang layak sehingga merusak fondasi masa depan mereka.” (Korupsi yang Memiskinkan, 2011, halaman 138).

Menurut catatan ICW, kerugian negara akibat korupsi dalam periode 2013-2022 minimal Rp 238,14 triliun.

Jumlah sangat besar yang bisa digunakan untuk membiayai proyek makan siang gratis atau mengentaskan sebagian warga yang terjerat dalam belitan kemiskinan.

Aktor pelaku korupsi pun sudah menjarah ke semua lini. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD pernah mengatakan, “di darat, di laut, di udara ada korupsi.”

Kegelisahan soal korupsi bukan hanya kegelisahan Kardinal Suharyo dan Buya Haedar, melainkan kegelisahan bangsa ini.

Buya Haedar dalam acara Gagas RI di Menara Kompas beberapa waktu lalu, mengingatkan kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi merupakan masalah kemanusiaan besar yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggir.

Apalagi jika ketiga masalah itu berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berbagai bentuk eksploitasi. Itu semua menggambarkan keserakahan manusia di era post-kolonialisme.

Haedar menyebut tiga agenda krusial bangsa. Pertama, korupsi yang menggila. Kedua, utang luar negeri yang sudah mendekati angka Rp 8.000 triliun yang menurut pemerintah tetap dalam posisi aman terkendali, tetapi bagi sebagian pihak mencemaskan. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.

Berita-berita bohong yang bertebaran dan media sosial dan era post-truth juga menjadi ancaman tersendiri karena bakal membentuk persepsi sendiri bagi mayoritas masyarakat.

Data dari World Population Review 2023 menyebut, tingkat kecerdasan orang Indonesia berada di peringkat ke-128 dunia dengan skor 78,45. Jepang berada di tingkat teratas dengan skor 106,48.

Pekerjaan rumah bangsa ini menumpuk. Pembusukan kelembagaan terjadi di sejumlah lembaga. Hampir semua lembaga punya masalah kelembagaan.

Tingkat kepercayaan publik pada politisi semakin meningkat. Pada sisi lain ada gejala peningkatan kepemimpinan populis non-demokratis.

Di tengah pertarungan kepentingan elite politik untuk memperbincangkan Pemilu 2024 dengan segala kontroversinya serta pembicaraan mengenai power sharing, posisi masyarakat sipil, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dunia kampus amat dibutuhkan untuk membuat peta jalan restorasi Indonesia 2024.

Dan, Muhammadiyah dan tentunya ormas lain, bisa mengambil peran di sana.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/09/06000031/asa-kardinal-suharyo-untuk-muhammadiyah-bantu-atasi-korupsi

Terkini Lainnya

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke