"Kebijakan afirmasi yang ada harus lebih berani menempatkan perempuan sebagai wakil rakyat," ucapnya.
Berbagai indikasi praktik kurang sehat dari kekisruhan penghitungan suara serta pengkondisian secara sistemik di Pemilu 2024, kata Melli, berpotensi menurunkan afirmasi keberadaan perempuan di parlemen.
Baca juga: Ketua KPU Sebut Tak Punya Niat Bohongi Publik soal Aturan Keterwakilan Perempuan
Pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan bahwa aturan atau pemberian sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan per dapil di pemilihan umum legislatif (pileg) sudah mulai hilang.
"Dulu (parpol) terkena sanksi diskualifikasi. Artinya, parpol itu tidak berhak mendapatkan kursi bila tidak memenuhi kualifikasi 30 persen per dapil," katanya.
Parpol bisa ikut pemilu tapi tidak dihitung perolehan suaranya karena tidak memenuhi kualifikasi itu.
Karena itu, parpol bisa kembali menganut sistem "zig-zag" seperti Pemilu Legislatif 2019 bahwa suaranya diutamakan untuk perempuan.
Misalnya, parpol mendapatkan dua kursi dalam satu dapil, harus diutamakan penghitungan suara kepada perempuan dari perolehan suara terbanyak di dapil itu.
"Meskipun di atasnya ada caleg laki-laki, namun karena kepentingan 'zig zag' itu, maka yang lebih diutamakan adalah perempuan," kata Ray.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.