Mereka memiliki agenda untuk memobilisasi masyarakat agar mencoblos logo PSI di surat suara.
“Setidaknya itu yang saya dengar dari salah satu aktivisnya yang diberikan pembiayaan langsung oleh aparat sebelum Pemilu,” ujar Romi.
Namun, ketika pemilu bergulir rencana itu tidak berjalan mulus. Hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei menyatakan suara PSI jauh di bawah ambang batas parlemen, yakni di angka dua persen.
Baca juga: Romahurmuziy Ungkap 2 Modus untuk Loloskan PSI ke Parlemen
Hitung cepat lembaga survei memiliki margin of error sekitar 1 persen. Artinya, agar lolos parlemen suatu partai harus meraup minimal sekitar tiga persen dalam hitung cepat.
Dengan demikian, mereka berpeluang tembus empat persen dalam hitung manual KPU.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir sejumlah pengamat politik hingga pemilik lembaga survei mengendus keganjilan. Sebab, suara PSI melesat dan keluar dari garis kewajaran.
Dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU, masuk data dari 110 tempat pemungutan suara (TPS) yang menyumbang 19.000 suara PSI. Dari data itu diperkirakan setiap TPS terdapat 173 pemilih PSI.
Menurut Romi, jika diasumsikan partisipasi pemilih seperti 2019, yakni 81,69 persen dari 300 hak suara, maka di setiap TPS terdapat 245 surat suara yang dicoblos.
Baca juga: Suara PSI Melonjak, Anies Singgung Ketuanya Anak Presiden
Dengan demikian, perolehan PSI setiap TPS mencapai 173 suara sementara partai lainnya secara keseluruhan hanya 29 persen.
“Sebuah angka yang sangat tidak masuk akal mengingat PSI sebagai partai baru yang tanpa infrastruktur mengakar dan kebanyakan caleg RI-nya saya monitor minim sosialisasi ke pemilih,” ujar Romi.
Kritik dan kecurigaan juga disampaikan belasan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi.
Ketua Perhimpunan bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengatakan, kenaikan suara PSI tidak masuk akal karena data pemilu yang masuk dari TPS saat ini sudah di atas 60 persen.
“Koalisi sudah menduga penggelembungan suara akan terjadi bersamaan dengan penghentian penghitungan manual di tingkat kecamatan dan penghentian Sirekap (Sistem Rekapitulasi) KPU,” kata Julius dalam keterangannya kepada Kompas.com, Minggu (3/3/2024).
Baca juga: Suara PSI Meroket, Koalisi Masyarakat Sipil Duga Ada Penggelembungan
Menurut Julius, sejak 18 Februari KPU di tingkat kabupaten/kota sempat menghentikan pleno terbuka rekapitulasi penghitungan suara secara manual di tingkat kecamatan.
Pada waktu yang bersamaan, KPU juga menghentikan penghitungan pada Sirekap dengan alasan sinkronisasi data. Hal itu membuat Sirekap tidak bisa diakses.