Sebaliknya peserta tender dari Indonesia mengajukan penawaran yang paling tinggi, yakni Rp 25 triliun. Tentu saja panitia lelang pekerjaan merasa heran dan takjub dengan nilai tender yang disodorkan peserta tender dari Indonesia.
Ketika ditanya rincian proyek, dengan enteng peserta tender dari Indonesia menerangkan kalau Rp 15 triliun untuk kontraktor China sebagai sub kontraktor, sementara sisanya yang Rp 10 triliun bisa dirundingkan dengan cara “sama-sama enak”.
Komposisinya Rp 5 triliun untuk panitia lelang serta Rp 5 triliun untuk hak kontraktor Indonesia.
Jangan kaget dengan kisah “tukang palak” di instansi yang memberantas palak. Sebanyak 78 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan bersalah melakukan pungutan liar (pungli) menyampaikan permintaan maaf terbuka secara langsung.
Permintaan maaf tersebut merupakan eksekusi dari putusan etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang menyidangkan 90 pegawai. Sebanyak 78 orang di antaranya dinyatakan terbukti, sedangkan 12 lainnya diserahkan ke pihak Inspektorat (Kompas.com, 27/02/2024).
Alih-alih dipecat atau diskorsing berat, ternyata KPK seperti menggelar gladi resik perhelatan pentas lawak. Puluhan pegawai KPK dengan kostum kemeja putih dan celana hitam mengucapkan janji dan permintaan maaf secara bersama-sama.
Lebih menggelikannya lagi, visual rekaman permohonan ampun tersebut cukup disaksikan di media internal lembaga antirasuah tersebut. Tidak disiarkan di televisi swasta sebagai prime time atau disebarluaskan di kanal media sosial yang bisa diketahui publik secara luas.
Padahal uang pungli yang ditangguk pegawai KPK dari para tersangka kasus korupsi mencapai Rp 6 miliar lebih dalam rentang waktu 2018 – 2023.
Transaksi panas tersebut diduga terkait penyelundupan uang dan alat komunikasi untuk tahanan kasus rasuah serta terindikasi suap, gratifikasi serta pemerasan.
Kerap ekspektasi publik terhadap KPK begitu menjulang tinggi. Tidak saja kepada kepala daerah yang suka “ngusilin” uang APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), tetapi KPK gegap gempita juga mencokok pembantu presiden yang tertangkap tangan “mengembat” uang negara.
Setiap Operasi Tangkap Tangan (OTT) selalu diglorifikasi oleh KPK dengan kisah pemburuan para pesakitan dengan cetar membahana.
Setiap konferensi pers yang digelar KPK, selaku menampilkan “hero” dan “superhero” serta “pesakitan”. Yang ditabalkan sebagai “superhero” tentu saja Ketua atau Wakil Ketua KPK yang menjadi juru bicara, Juru Bicara KPK yang menjadi “hero” serta tersangka yang menjadi “pesakitan”.
Publik belum terbiasa melihat KPK sama halnya dengan instansi-instansi lain yang mudah goyah ketika melihat “lambaian” fulus.
Publik kadung menaruh harapan tinggi untuk KPK sebagai “superbody” yang berotot kawat dan bertulang baja dalam menghadapi godaan materi.
Publik betapa sering disajikan OTT tanpa pernah mendapat penjelasan secara rinci dan transparan soal biaya yang dikeluarkan KPK dalam menggelar OTT.