Publik tidak bisa mengkalkulasi dengan obyektif, berapa biaya yang dikeluarkan KPK untuk menjerat tersangka yang merugikan keuangan negara Rp 250 juta jika andaikan saja dibutuhkan Rp 2,5 miliar untuk menyelenggarakan penyadapan hingga penangkapan dalam OTT tersebut.
Bukan berarti ingin menihilkan OTT dan memberi “excuse” terhadap kasus-kasus korupsi, sebaiknya ranah pemberantasan korupsi harus dipertegas lagi, apakah cukup diselesaikan di tingkat Kejaksaan atau memang perlu ditindak KPK?
Saya jadi teringat dengan ulah mantan pegawai KPK yang bernama Novel Aslen Rumahorbo yang bisa memanipulasi uang perjalanan dinas sepanjang 2021 hingga 2022 sebesar Rp 550 juta.
Walaupun Novel Aslen telah dipecat dari KPK karena dianggap melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS (Detik.com, 23 Februari 2024).
Kulminasi kelucuan yang terjadi di KPK tentu saja terjadi ketika “sang ketua” memalak menteri. Ibarat maestro mempermainkan dalang dan pentas lawakannya terjadi lapangan bulutangkis dan “safe house” hasil ulah yang mencurigakan pula.
Bukan karena “sang ketua” pandai bersilat lidah karena memang nyatanya jago di lapangan badminton, hingga sekarang kasus pemerasan Firli Bahuri terhadap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo masih jalan di tempat.
Jika Syahrul Yasin Limpo yang menyuap Firli Bahuri sudah mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sejak Rabu (28/02/2024), maka kelanjutan proses hukum Firli Bahuri masih “auh aah gelap” hingga sekarang.
Sudah seharusnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan mengevaluasi kinerja tim penyidik Polda Metro Jaya yang menangani kasus Firli.
Walaupun Firli pensiunan bintang tiga, tidak seharusnya Kapolda Metro Jaya, Karyoto yang memiliki dua bintang merasa “ewuh pakewuh” walau di antara keduanya pernah memiliki relasi di KPK.
Kapolri harusnya meminta Kapolda Metro Jaya segera menuntaskan proses hukum terhadap Firli. Mandeknya penyidikan yang dikerjakan oleh Polda Metro Jaya membuat berkas perkara Firli bolak-balik tiga kali antara Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ke Polda Metro Jaya (Kompas.com, 1/03/2024)
Jika tidak dilakukan upaya paksa berupa penahanan terhadap Firli, purnawirawan jenderal bintang tiga itu berisiko melarikan diri dan menghilangkan barang bukti serta menyulitkan upaya penyidikan.
Saya khawatir, jika kasus-kasus internal yang membelit KPK tidak ditangani dengan serius – malah dengan bercanda – maka pamor KPK jauh “terpelanting” di bawah keberhasilan film “Agak Laen”.
Film yang dibintangi empat sekawan yang terdiri dari Boris Bokir, Indra Jegel, Oki Rengga, serta Bene Dion kini sudah tembus ditonton 7 juta orang.
“Agak Laen” merupakan film yang bercerita tentang empat orang sahabat yang mengelola rumah hantu di pasar malam. Sayangnya wahana tersebut selalu sepi pengunjung.
Empat sekawan tersebut kemudian mencari cara baru menakuti para pengunjung agar selamat dari kebangkrutan.
Sialnya wahana rumah hantu itu malah memakan korban jiwa salah satu pengunjungnya. Sang pengunjung meninggal karena terkena serangan jantung. Mereka berempat panik, kemudian korban tersebut mereka kubur dalam rumah hantu itu.
Di luar dugaan, arwah si korban malah gentayangan sehingga membuat rumah hantu jadi seram dan ramai pengunjung. Ketika polisi mulai menyelidiki, mereka terpaksa melakukan berbagai persengkongkolan konyol untuk menutupi kejadian sebenarnya.
Yang jelas, film “Agak Laen” kini ditabalkan sebagai salah satu film nasional terlaris sepanjang masa dan tentu saja tidak mendapat inspirasi dari kasus-kasus yang melibatkan KPK.
Terlebih lagi, KPK – kalau boleh saya plesetkan sebagai "Komedi Paling Kocak" – semakin hari semakin agak laen saja!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.