Kritik demi kritik keras dilancarkan untuk mengingatkan rezim ini. Entah untuk meminta perbaikan kondisi kenegaraan atau entah untuk menaikkan “nilai jualnya”, yang jelas rakyat akan menjadi saksi dan waktu yang bisa menjawabnya.
Begitu proses politik membuatnya tersingkir, dirinya rela menurunkan target. Tidak lagi menjadi pemimpin, menjadi wakil pemimpin pun jadilah. Tidak ada yang melirik sekalipun, gerbong politik yang digamitnya rela masuk ke dalam barisan yang selalu dikritik habis.
Mencari pekerjaan di era jelang “generasi emas” betapa sulitnya. Dari anak-anak panggede akhirnya kita bisa menjadi saksi, betapa peran ayah dan paman bisa mencarikan solusi pekerjaan.
Pekerjaan yang dicarikan orangtua bagi anak-anaknya bukan lagi sekadar tenaga admin di kelurahan atau tenaga kebersihan di perusahaan pinjaman online.
Peran ayah dan paman sekarang begitu “mulia” di mata keluarga, kerabat dan partainya. Seorang anak bisa ditabalkan menjadi wakil presiden, bisa menjadi menteri walau seumur jagung, bahkan “sakti” juga menempatkan anak sebagai ketua umum partai.
Tidak hanya kerabat, seorang presiden pun bisa berbuat apa saja demi transaksi politik kepada penerusnya.
Menitipkan sejumlah nama menteri di kabinet sekarang – ada yang membocorkan empat nama – agar bisa duduk di kabinet mendatang menjadi bukti mencari pekerjaan di zaman ini memang terasa sulit.
Pola mencari dan mengejar jabatan yang dicontohkan para elite tanpa malu akhirnya menjadi pola panutan.
Seorang direktur pemenangan salah satu tim sukses calon presiden begitu mudah beralih ke tim sukses lain. Mungkin tidak dianggapnya aib karena jabatan komisaris sudah menanti.
Pesta belum berakhir, jabatan komisaris mulai “berterbangan” hingga ke istri anggota tim sukses.
Logika pembenar untuk mendapatkan pekerjaan pun terlontar dengan heroik. Ketika negara memanggil, maka demi persatuan dan kesatuan negara akan rela mendapatkan jabatan tinggi.
Melupakan segala kritik tajamnya, entah mungkin juga menertawakan target politiknya yang muluk-muluk dulu, kini malah memuja setengah mati kepada sosok yang dulu sering dihujatnya.
Miris melihat harga sekarung beras isi 50 kilogram berharga Rp 1 juta di Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Limapagi.id, 28 Februari 2024).
Demikian juga dengan video viral dari Tanggamus, Lampung ketika seorang nenek dengan tangan yang gemetar hanya bisa memakan sayur daun singkong karena mahalnya harga beras.
Antrean para pembeli beras yang mengular panjang di berbagai pelosok Tanah Air mengingatkan saya akan bencana kelaparan di Ethiopia.