Saya tidak bisa membayangkan di tengah kesulitan rakyat mencari penghidupan, kini masih harus pula sengsara mencari harga beras murah. Sudah berharga mahal, langka pula.
Selama kampanye demi memikat hati rakyat agar memilih sesuai arahan dan kehendak rezim yang berkuasa, digelontarkan bantuan sosial berupa beras di mana-mana. Rakyat terbuai karena perutnya – untuk sementara waktu – dibuaikan dengan rasa kenyang.
Ketika kenyang sesaat telah usai, kini rakyat harus siap untuk bangun dari tidurnya untuk menghadapi realita yang ada. Alih-alih mendapat solusi cerdas, kita dibuat kaget dengan pernyataan pembantu presiden.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut tidak semua jenis beras mengalami kenaikan harga, melainkan hanya beras premium produksi lokal karena stok produksinya berkurang. Sementara beras impor masih tersedia dengan harga terjangkau.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu bilang yang naik dan langka hanya beras lokal atau premium. Pemerintah telah membanjiri pasar dengan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) subsidi komersial Bulog, mutu berasnya tidak kalah bagus.
Dengan bangganya sang menteri itu menyebut pemerintah telah impor hampir 4 juta ton, on going 2 juta lebih, sementara stok Bulog 1,4 juta ton.
Dia malah menyarankan masyarakat agar beralih dari beras premium petani lokal menjadi beras Bulog dari luar negeri seperti Vietnam dan Pakistan yang harganya tidak naik karena dijamin pemerintah.
Sebagai informasi, harga SPHP di Rp 10.900,- per kilogram untuk Pulau Jawa-Bali-Sumatra (Cnbcindonesia.com, 20 Februari 2024).
Ketika komoditi menjadi langka, maka langkah impor menjadi pembenar dan sekali lagi, petani lokal tidak menjadi “tuan” di negerinya sendiri. Rakyat disuruh makan beras murah, maka yang berkuasa boleh makan beras berharga mahal.
Saya jadi teringat dengan gemblengan mendiang George Aditjondro saat saya sebagai aktivis pers kampus Warta Universitas Indonesia menghadiri pertemuan di Jakarta sekitar 1997.
Aditjondro selalu mewanti-wanti agar kalangan muda untuk mencermati “politik beras” yang selalu digunakan rezim Orde Baru untuk membungkam suara kritis rakyatnya.
Kestabilan politik di rezim Soeharto selalu ditopang dengan ketersedian beras yang dibutuhkan rakyatnya. Selama beras tersedia dan terjangkau dengan daya beli rakyatnya, maka kekuasaan bisa berjalan tanpa gangguan.
Anggap saja kelangkaan beras saat ini sebagai “raison d’etre” jelang pelaksanaan program makan siang dan susu gratis yang akan dijalankan oleh rezim yang baru.
Sebagian rakyat yang telah memilih presiden dan wakilnya tentu berharap – entah apa namanya kelak – Kementerian Urusan Katering atau Kementerian Pembagian Makan Siang & Susu Gratis bisa mengatasi solusi rakyat yang lapar.
Rakyat yang lapar kini butuh beras semudah saat kampanye kemarin, yang dibanjiri beras Bansos di mana-mana.
Kenapa saat kampanye beras berlimpah dan saat yang “dimenangkan” tertawa renyah malah beras menjadi langka?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.