Tidak hanya rakyat kecil berpendidikan rendah yang “dibodohi”, elite-elite kekuasaan yang demi menambah pundi-pundi kekayaan dan pelanggengan jabatannya jatuh “rebah” dan “menyembah” kekuasaan. Semuanya berkelindan menyukseskan suksesi tanpa moral.
Jika pada Soeharto kita bisa belajar arti kerakusan materi yang menumpuk pada keluarga dan kroni-kroninya, maka di rezim Jokowi kita bisa melihat betapa etika dan moral telah rusak dan “ambyar” berkeping-keping.
Jika suara guru besar, akademisi dan mahasiswa dianggap “buzzer”, maka hanya di era ini suara influencer ditabalkan sebagai suara kebenaran.
Kita tidak lagi mendapat keteladanan, yang ada hanyalah pertunjukkan kebobrokan demi kebobrokan etika dan moral.
Tidak malu mengatakan "tidak kampanye", padahal kampanye. Tidak malu mengatakan "anaknya tidak tertarik dengan politik", jebule jadi merajalela.
Dari Ferdinand Marcos, kisah pilu presiden bertangan besi di Filipina harusnya kita menyimak. Tumpulnya nurani dan besarnya syahwat kekuasaan begitu membutakan Marcos.
Desakan adanya reformasi dan pemurnian demokrasi dihadapi dengan senjata dan acungan laras tank.
Marcos “dijilat” dan dikelilingi antek-anteknya. Begitu arus perlawanan rakyat semakin membesar dan tidak bisa dibendung lagi, para antek-anteknya berbalik badan mengecam Marcos.
Marcos menggarong habis-habisan kekayaan negara. Hidup mewah di tanah pengasingan, bernama Hawai.
Berkat kekayaannya yang ditimbun tanpa malu, kini keluarganya bisa meraih tampuk kekuasaan (kembali) dengan memanfaatkan rendahnya daya nalar rakyat Filipina yang terbuai gaya “tari-tarian” Bongbong Marcos saat berkampanye.
Dari Syah Iran Reza Pahlevi yang jatuh karena revolusi antimonarki 1979 kita juga bisa melihat, loyalis dan penjilat Reza Pahlevi yang pertama kali berbalik badan ketika kekuasaan Reza di ujung tanduk.
Dari Soerharto kita bisa menarik pelajaran ketika di awal hari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Harmoko menyebut Soeharto masih mendapat dukungan kuat dari rakyat, tetapi di penghujung hari bisa berkata sebaliknya kalau rakyat tidak lagi menginginkan Soeharto berkuasa lagi.
Cukup sudah, dari semua sejarah kepemimpinan kita bisa belajar dan memahami arti pemimpin yang tumpul nurani, etika dan moralnya.
Jika ada pemimpin yang masih bebal juga, maka tunggulah suatu saat akan terjengkang dari tampuk kekuasaan dan malu tiada tara di kemudian hari.
“Ketika akal sehat dan nurani dicederai, etika dilecehkan, hukum dikangkangi, kita sebenarnya tidak sedang menjalani demokrasi. Kita cuma melanggengkan oligarkhi. Bukalah mata hati dan suarakan nuranimu.” – Nugroho F. Yudho/wartawan senior.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.