Keenam, sifat mendung. Mendung mempunyai sifat menakutkan atau berwibawa, tetapi setelah berubah menjadi air dalam hal ini hujan dapat menyegarkan semua makhluk hidup.
Untuk itu pemimpin harus dapat bersifat seperti mendung, yaitu harus dapat menjaga kewibawaan dengan berbuat jujur, terbuka dan semua yang menjadi programnya dapat bermanfaat bagi anak buah dan sesama.
Ketujuh, sifat samudra. Bentangan samudra luas dapat menampung apa saja yang akan masuk ke dalamnya.
Jadi seorang pemimpin harus berfungsi seperti samudra, yaitu mempunyai pandangan luas, merata, sanggup, mampu menerima berbagai macam persoalan serta tidak boleh pilih kasih dan membenci terhadap golongan apa pun.
Di samping itu seorang pemimpin harus berbesar jiwa, yaitu mau memaafkan kesalahan orang lain.
Kedelapan, sifat bumi. Bumi mempunyai sifat teguh atau sentosa dan apa yang ditanam di bumi akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan.
Kiranya seorang pemimpin harus dapat bersifat seperti bumi, yaitu berteguh hati dan selalu mampu memberi anugrah terhadap siapa saja yang berjasa terhadap nusa dan bangsa (Beritamagelang.id, 13 Desember 2021).
Bagaimana dengan zaman sekarang ini? Apakah Pappasang dan Hasta Brata tercermin dalam kepemimpinan Presiden Jokowi?
Publik saat ini tengah ramai membincangkan isi film “Dirty Vote” garapan Dhandy Dwi Laksono mengupas tentang praktik kecurangan Pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan rezim Jokowi.
Film dokumenter yang menampilkan ulasan tiga pakar hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari tersebut memang mulai tayang di saat Pemilu memasuki hari tenang.
Sebenarnya, isi film ini tidak ada yang baru karena memang telah terjadi dan memang benar itulah yang dilakukan rezim yang berkuasa untuk mengekalkan kekuasaannya. Menjadi aneh jika ada pihak-pihak yang keberatan.
Ada pihak yang berkelindan dengan kekuasaan melaporkan kalau tayangan yang mencerahkan akal itu malah dianggap menyebarkan kebencian dan fitnah.
Padahal jika ingin dibantah, cukuplah dibuat film tandingannya. Bukankah narasi harus dibalas dengan narasi? Bukan dilawan dengan makan siang dan susu gratis.
Proses pembusukkan demokrasi jika mau kita akui memang telah lama disiapkan dengan topeng-topeng kekuasaan yang dikemas dengan gaya pencitraan yang ulung. Kasian rakyat kecil yang selama ini “terbius” dengan kefanatikan.
Melongok gorong-gorong, membagi-bagikan sepeda, menyebar beras, melempar kaos, menebar amplop semuanya demi tujuan pewarisan kekuasaan untuk anak, menantu dan kelak – siapa tahu - untuk cucu dan cicitnya.