Bahkan tidak tanggung-tanggung, beberapa hari jelang berlangsungnya Debat kelima (atau debat terakhir ini), beberapa kampus juga sudah turun tangan memanaskan arena kontestasi pilpres 2024 dengan mengeluarkan petisi dan maklumat yang bukan hanya mempersoalkan pilpres, tapi juga kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi.
Dengan latar belakang seperti ini, sudah sewajarnya bila publik menyangka bahwa debat Capres kelima akan berlangsung lebih panas dari debat-debat sebelumnya.
Karena begitu banyak narasi di luar yang bisa dijadikan bahan baku untuk saling menyerang dan mendistorsi elektabilitas kompetitornya. Belum lagi debat ini adalah debat terakhir, dan hanya tinggal 10 hari lagi menuju hari pencoblosan.
Narasi yang lahir pada debat kali ini, akan menjadi bahan baku efektif untuk meraih simpati pemilih di satu minggu terakhir kampanye di lapangan. Terutama undecided voters yang sampai saat ini masih belum menentukan pilihannya.
Namun ekspektasi publik itu ternyata jauh panggang dari api. Apa yang kita saksikan dalam debat kelima tak ubahnya seperti sarasehan para tokoh, yang saling mendukung dan menyetujui satu sama lain.
Memang ada sedikit sentuhan serangan di dalamnya, tapi itu masih jauh dari ekspektasi yang diharapkan publik bisa terjadi dalam debat kali ini.
Pertanyaaannya, mengapa anomali itu bisa terjadi?
Anomali adalah istilah umum yang merujuk kepada keadaan penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya.
Anomali juga sering di ebut sebagai suatu kejadian yang tidak bisa diperkirakan sehingga sesuatu yang terjadi akan berubah-ubah dari kejadian biasanya.
Dalam teori anomali, di mana ini adalah kerangka kerja yang menjelaskan mengapa fenomena tertentu menyimpang dari ekspektasi atau norma yang diterima, ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan mengapa situasi itu berlangsung di luar pakem atau alur yang seharusnya terjadi.
Pertama, karena adanya kesalahan dalam pengukuran, pengamatan, atau analisis terhadap suatu fenomena, sehingga bisa terjadi anomali.
Terkait hal ini, rasa-rasanya tidak ada yang salah dengan pengamatan publik terkait apa yang terjadi dalam debat pertama sampai keempat, dan juga fakta meningkatnya eskalasi kontestasi pascaterjadinya debat tersebut.
Terlebih jelang debat kelima, hampir tidak ada orang yang membantah bahwa eskalasi kontestasi terus memanas, dan ini membingungkan bila tidak memengaruhi jalannya debat kelima.
Apalagi, menurut survei terakhir, elektabilitas Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD masih berjarak cukup jauh dari Prabowo-Gibran yang digadang-gadang bisa membuat Pilpres ini berlangsung hanya sekali putaran saja.
Dengan adanya fakta ini, seharusnya Anies dan Ganjar bersikap lebih agresif menyerang Prabowo dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan berbobot dan menjebak dalam debat kelima tersebut.
Ini belum lagi bila kita memasukan variable background ketika capres dengan tema debat kelima ini yang mengusung tema Pendidikan, kebudayaan, ketenagakerjaan, dan inklusi.
Di antara ketiga capres, latar belakang Prabowo adalah yang paling tidak relevan dengan tema ini. Dengan demikian, bisa diasumsikan Prabowo paling tidak menguasai tema ini.
Sedangkan Anies pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, dan juga pernah menjadi inisiator Gerakan Indonesia mengajar. Ini tentu background yang sangat relevan.
Belum lagi bila mengingat bahwa Muhaimin saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI bidang Kesra, yang diasumsikan bisa menggandakan pemahaman Anies tentang tema yang diusung.