“Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran yang dicita-citakan masih jauh saja, sedangkan nilai uang semakin merosot.”
BUNG Hatta menulis renungannya bernada getir itu dalam risalahnya yang terkenal pada 1960, Demokrasi Kita. Di bawah panji-panji “Demokrasi Terpimpin”, yang disambut banyak orang di masa itu dengan sorak-sorai, Bung Hatta justru melihat nasib demokrasi yang tragis.
Kecemasan Hatta punya latar yang kuat. Pada 5 Maret 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1955, lalu menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR).
Seluruh anggota DPR-GR ditunjuk sendiri oleh Presiden. Sebelumnya, Soekarno juga sudah membubarkan Majelis Konstituante lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Hari-hari ini, menjelang pemilu 2024, kita menemui situasi politik yang mirip. Setelah mengalami masa stagnasi, sistem demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dalam satu dekade terakhir (Thomas Power dan Eve Warburton, ISEAS, 2020). Ada juga yang menyebutnya di “ujung kematian” (Sukidi, Kompas, 2024), dan berpotensi "melakukan bunuh diri" (Vedi R Hadiz, Kompas, 2024).
Pada 1960, ada penguatan dan perluasan kekuasaan eksekutif yang menabrak Konstitusi, seperti keputusan Soekarno mengangkat dirinya sebagai formatur Kabinet (1957), membubarkan Majelis Konstituante (1959), dan membubarkan DPR hasil pemilu 1955.
Lalu, dengan kekuasaan yang berlebihan, Soekarno membentuk DPR-GR, yang seluruh anggotanya ditunjuk Presiden melalui Keppres Nomor 156 Tahun 1960.
Tidak berhenti di situ, fungsi-fungsi DPR, seperti fungsi legislasi, dilemahkan dengan pembentukan dua badan baru: Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional.
Situasi itu, menurut kesimpulan Hatta, telah menggiring Indonesia dalam pusaran krisis demokrasi. Dan kita tahu, sejak 1960 itu, Soekarno diangkat sebagai Presiden seumur hidup dan tidak pernah ada lagi pemilu.
Hari-hari ini, kita bertatap muka dengan kenyataan-kenyataan yang hampir mirip: proses penggelembungan kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan yang menggelembung itu melemahkan mekanisme check and balance, melemahkan lembaga anti-korupsi (KPK), dan intervensi terhadap proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Mendekati pemilu 2024, penggelembungan kekuasaan yang tak mau mengenal batas itu mengancam syarat paling minimum dari demokrasi: pemilu bebas dan kompetitif.
Ada banyak laporan dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk mengintervensi proses pemilu demi kepentingan kandidat tertentu, mulai dari mobilisasi aparat desa untuk memenangkan Capres tertentu, politisasi bansos, pemanfaatan fasilitas negara untuk kampanye capres, dan lain-lain.
Dan yang paling berbahaya dari itu adalah apa yang disebut Adam Przeworski (2019): “petahana mengintervensi pemilu agar tidak memberi peluang oposisi menang.”
Atas nama menjaga kesinambungan pembangunan, Jokowi menyatakan terbuka cawe-cawe dalam pemilu 2024. Ia ikut dalam hiruk-pikuk memasangkan Capres-Cawapres yang dianggap cocok meneruskan kepemimpinannya.