Ia mengumpulkan lima partai politik pendukungnya di Istana Negara untuk membahas Pemilu. Dan beberapa bulan terakhir, ia kerap menyuguhkan foto berdua dengan Capres tertentu maupun petinggi partai politik dari koalisi Capres-Cawapres tertentu.
Tentu saja, tidak ada yang salah jika Presiden punya preferensi politik kepada Capres tertentu. Namun, hal itu tidak perlu diumbar ke publik, sehingga tertangkap sebagai pesan politik dukungan.
Sebab, pada diri Presiden melekat jabatan yang memegang otoritas tertinggi atas pemerintahan dan birokrasinya.
Kita boleh tak setuju dengan dalil minim Przeworski (2019) tentang demokrasi sebagai “pelembagaan ketidakpastian”, bahwa prasyarat minimum demokrasi adalah pemilu bebas dan kompetitif, sehingga hasil atau pemenangnya tidak bisa terprediksi.
Namun, jika pemilu diintervensi begitu kuat oleh penguasa, sehingga prosesnya tidak kompetitif dan hasilnya gampang ditebak, itu berarti kita kembali ke model pemilu masa Orde Baru.
Selain itu, setiap intervensi petahana untuk mengatur hasil akhir Pemilu selalu menyertakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) berskala besar.
Ada harga sangat mahal yang harus dibayar oleh bangsa ini jika pemilu tidak berjalan demokratis, bebas, dan kompetitif, yaitu buyarnya kepercayaan terhadap demokrasi.
Kalau pemilu tidak bebas dan kompetitif, maka hasilnya akan ditolak oleh kontestan yang merasa dirugikan dan massa pendukungnya. Ini juga menciptakan krisis legitimasi bagi pemerintahan hasil pemilu 2024.
Selain itu, seperti yang diwanti-wanti oleh Bung Hatta, buyarnya kepercayaan terhadap demokrasi akan membuka jalan bagi lawannya: diktator.
Bahkan, peringatan paling berbahaya disampaikan oleh Przeworski: ketidakpercayaan terhadap demokrasi, dalam hal ini Pemilu yang bebas dan kompetitif, akan menghamparkan jalan bagi model peralihan kekuasaan yang penuh konflik, kekerasan, dan kudeta.
Ketika demokrasi dipercaya, setiap kontestan merasa punya peluang untuk menang dalam pemilu, maka tidak akan ada orang yang membayangkan peralihan kekuasaan di luar lembaga demokrasi.
Dalam “Demokrasi Kita”, Hatta tegas mengatakan, “demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik.”
Pertama, demokrasi perlu dijaga lewat tanggung jawab dan komitmen. Larry Diamond (1999) menyebut demokrasi akan terkonsolidasi dengan baik jika norma-norma, prinsip, dan praktik demokrasi diterima oleh semua elite politik, lembaga, organisasi, dan masyarakat sipil.
Tentu saja, komitmen itu tidak bisa sekadar kata-kata, tetapi juga sikap dan tindakan yang konkret untuk menghormati dan menjaga marwah demokrasi.
Pada pemerintah, komitmen itu bisa terwujud, misalnya: memastikan pemilu berjalan bebas dan kompetitif, menghormati independensi penegak hukum dan lembaga yudisial, menjamin kemerdekaan berekspresi dan berpendapat, menjamin kemerdekaan pers, mengakui eksistensi oposisi, dan lain-lain.