Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Pemilu 2024 dan Krisis Demokrasi

Kompas.com - 03/02/2024, 09:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran yang dicita-citakan masih jauh saja, sedangkan nilai uang semakin merosot.”

BUNG Hatta menulis renungannya bernada getir itu dalam risalahnya yang terkenal pada 1960, Demokrasi Kita. Di bawah panji-panji “Demokrasi Terpimpin”, yang disambut banyak orang di masa itu dengan sorak-sorai, Bung Hatta justru melihat nasib demokrasi yang tragis.

Kecemasan Hatta punya latar yang kuat. Pada 5 Maret 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1955, lalu menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR).

Seluruh anggota DPR-GR ditunjuk sendiri oleh Presiden. Sebelumnya, Soekarno juga sudah membubarkan Majelis Konstituante lewat Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Hari-hari ini, menjelang pemilu 2024, kita menemui situasi politik yang mirip. Setelah mengalami masa stagnasi, sistem demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dalam satu dekade terakhir (Thomas Power dan Eve Warburton, ISEAS, 2020). Ada juga yang menyebutnya di “ujung kematian” (Sukidi, Kompas, 2024), dan berpotensi "melakukan bunuh diri" (Vedi R Hadiz, Kompas, 2024).

Krisis Demokrasi

Pada 1960, ada penguatan dan perluasan kekuasaan eksekutif yang menabrak Konstitusi, seperti keputusan Soekarno mengangkat dirinya sebagai formatur Kabinet (1957), membubarkan Majelis Konstituante (1959), dan membubarkan DPR hasil pemilu 1955.

Lalu, dengan kekuasaan yang berlebihan, Soekarno membentuk DPR-GR, yang seluruh anggotanya ditunjuk Presiden melalui Keppres Nomor 156 Tahun 1960.

Tidak berhenti di situ, fungsi-fungsi DPR, seperti fungsi legislasi, dilemahkan dengan pembentukan dua badan baru: Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional.

Situasi itu, menurut kesimpulan Hatta, telah menggiring Indonesia dalam pusaran krisis demokrasi. Dan kita tahu, sejak 1960 itu, Soekarno diangkat sebagai Presiden seumur hidup dan tidak pernah ada lagi pemilu.

Hari-hari ini, kita bertatap muka dengan kenyataan-kenyataan yang hampir mirip: proses penggelembungan kekuasaan eksekutif.

Kekuasaan yang menggelembung itu melemahkan mekanisme check and balance, melemahkan lembaga anti-korupsi (KPK), dan intervensi terhadap proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).

Mendekati pemilu 2024, penggelembungan kekuasaan yang tak mau mengenal batas itu mengancam syarat paling minimum dari demokrasi: pemilu bebas dan kompetitif.

Ada banyak laporan dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk mengintervensi proses pemilu demi kepentingan kandidat tertentu, mulai dari mobilisasi aparat desa untuk memenangkan Capres tertentu, politisasi bansos, pemanfaatan fasilitas negara untuk kampanye capres, dan lain-lain.

Dan yang paling berbahaya dari itu adalah apa yang disebut Adam Przeworski (2019): “petahana mengintervensi pemilu agar tidak memberi peluang oposisi menang.”

Atas nama menjaga kesinambungan pembangunan, Jokowi menyatakan terbuka cawe-cawe dalam pemilu 2024. Ia ikut dalam hiruk-pikuk memasangkan Capres-Cawapres yang dianggap cocok meneruskan kepemimpinannya.

Ia mengumpulkan lima partai politik pendukungnya di Istana Negara untuk membahas Pemilu. Dan beberapa bulan terakhir, ia kerap menyuguhkan foto berdua dengan Capres tertentu maupun petinggi partai politik dari koalisi Capres-Cawapres tertentu.

Tentu saja, tidak ada yang salah jika Presiden punya preferensi politik kepada Capres tertentu. Namun, hal itu tidak perlu diumbar ke publik, sehingga tertangkap sebagai pesan politik dukungan.

Sebab, pada diri Presiden melekat jabatan yang memegang otoritas tertinggi atas pemerintahan dan birokrasinya.

Kita boleh tak setuju dengan dalil minim Przeworski (2019) tentang demokrasi sebagai “pelembagaan ketidakpastian”, bahwa prasyarat minimum demokrasi adalah pemilu bebas dan kompetitif, sehingga hasil atau pemenangnya tidak bisa terprediksi.

Namun, jika pemilu diintervensi begitu kuat oleh penguasa, sehingga prosesnya tidak kompetitif dan hasilnya gampang ditebak, itu berarti kita kembali ke model pemilu masa Orde Baru.

Selain itu, setiap intervensi petahana untuk mengatur hasil akhir Pemilu selalu menyertakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) berskala besar.

Ada harga sangat mahal yang harus dibayar oleh bangsa ini jika pemilu tidak berjalan demokratis, bebas, dan kompetitif, yaitu buyarnya kepercayaan terhadap demokrasi.

Kalau pemilu tidak bebas dan kompetitif, maka hasilnya akan ditolak oleh kontestan yang merasa dirugikan dan massa pendukungnya. Ini juga menciptakan krisis legitimasi bagi pemerintahan hasil pemilu 2024.

Selain itu, seperti yang diwanti-wanti oleh Bung Hatta, buyarnya kepercayaan terhadap demokrasi akan membuka jalan bagi lawannya: diktator.

Bahkan, peringatan paling berbahaya disampaikan oleh Przeworski: ketidakpercayaan terhadap demokrasi, dalam hal ini Pemilu yang bebas dan kompetitif, akan menghamparkan jalan bagi model peralihan kekuasaan yang penuh konflik, kekerasan, dan kudeta.

Ketika demokrasi dipercaya, setiap kontestan merasa punya peluang untuk menang dalam pemilu, maka tidak akan ada orang yang membayangkan peralihan kekuasaan di luar lembaga demokrasi.

Komitmen Demokrasi

Dalam “Demokrasi Kita”, Hatta tegas mengatakan, “demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik.”

Pertama, demokrasi perlu dijaga lewat tanggung jawab dan komitmen. Larry Diamond (1999) menyebut demokrasi akan terkonsolidasi dengan baik jika norma-norma, prinsip, dan praktik demokrasi diterima oleh semua elite politik, lembaga, organisasi, dan masyarakat sipil.

Tentu saja, komitmen itu tidak bisa sekadar kata-kata, tetapi juga sikap dan tindakan yang konkret untuk menghormati dan menjaga marwah demokrasi.

Pada pemerintah, komitmen itu bisa terwujud, misalnya: memastikan pemilu berjalan bebas dan kompetitif, menghormati independensi penegak hukum dan lembaga yudisial, menjamin kemerdekaan berekspresi dan berpendapat, menjamin kemerdekaan pers, mengakui eksistensi oposisi, dan lain-lain.

Kedua, demokrasi harus diperkuat dengan memastikan proses demokrasi bisa memberi manfaat langsung kepada rakyat.

Temuan Daron Acemoglu bersama Nicolás Ajzenman dkk (2023) menunjukkan bahwa publik sangat mendukung institusi demokrasi selama proses demokrasi bisa memperbaiki kinerja ekonomi, pelayanan publik, atau hal-hal lain yang dikehendaki publik.

Mungkin temuan itu terkesan hanya menegaskan temuan-temuan sebelumnya: keterkaitan demokrasi dan modernisasi ekonomi (Lipset, 1959) dan demokrasi lebih stabil dan kokoh di negara-negara berpendapatan per kapitanya lebih tinggi (Przeworski, 2000).

Kesimpulan dari temuan itu sangat jelas: jika ini memperkuat demokrasi lebih baik, kita harus memastikan lembaga-lembaga demokrasi bisa mewujudkan apa yang dikehendaki rakyat.

Tentu saja, ini sejalan dengan seruan Bung Hatta dan Bung Karno sejak 1930-an, bahwa demokrasi tidak cukup hanya dengan kebebasan politik semata, tetapi harus dilengkapi dengan demokrasi ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

Nasional
KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Maut Bus di Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Maut Bus di Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com