Tatkala investor asing sebanyak 75 persen tersebut berlomba, misalnya, membangun infrastruktur gedung, baik untuk perkantoran atau pun rumah tinggal, itu berarti kepemilikan gedung-gedung atau bangunan lainnya, otomatis milik para investor asing tersebut.
Maka, besar kemungkinan pemerintah akan menyewa gedung-gedung milik para investor asing tersebut, untuk menjalankan roda pemerintahan.
Begitu juga perumahan. Para pejabat negeri kita, terutama aparat sipil negara, akan menempati rumah sewaan yang dibiayai oleh negara.
Nah, di sinilah masalah krusialnya karena kita akan kerepotan berurusan dengan agenda sosial yang sangat sensitif, yakni: “Ibu Kota Negara Indonesia adalah milik asing. Bukan milik Indonesia.”
Dengan mudah dinujum, betapa kalutnya persoalan sosial yang bakal kita hadapi. Apalagi, di negeri kita hingga kini, isu dan agenda kohesi sosial belum sepenuhnya terjadi.
Di sana sini, dari waktu ke waktu, dikotomi penguasaan aset-aset sosial dan ekonomi yang dikaitkan dengan agenda ras, masih selalu membara.
Sekam agenda dan isu tersebut sama sekali belum padam. Setiap saat bara sekam tiba-tiba menjadi api yang menyulut dan membakar ke mana-mana.
Padahal, kepemilikan aset-aset ekonomi tersebut masih dalam tangan warga negara Indonesia sendiri, yang kebetulan hanya memiliki ras tertentu.
Bagaimana lagi bila aset-aset ekonomi di ibu kota negara yang baru kelak, dipunyai oleh investor yang bukan warga negara Indonesia. Ini super sensitif.
Tentu pemerintah akan mengatakan bahwa investor yang membangun gedung-gedung, tidak memilikinya, tetapi menggunakan sistem BOT (build operate transfer).
Namun sebelum transfer itu terjadi ke negara, kan investor yang menguasainya selama 190 tahun. Artinya, selama masa itu, pemerintah akan menyewa gedung-gedung tersebut. Apakah baju pelampung agenda ini sudah disiapkan?
Agenda lainnya, kalkulasi dan rincian anggaran untuk setiap proyek yang hendak dibangun, sebaiknya secara serius dilakukan dan dibuka luas.
Kita dapat pelajaran yang amat berharga dari pembangunan jalur kereta cepat Bandung-Jakarta. Anggaran tiba-tiba dibengkakkan oleh China yang memenangkan tender.
Kita pun semua terkaget-kaget dibuatnya. Bila kita tidak menutupi anggaran yang membengkak itu, maka proyek tersebut pasti mangkrak. Bila kita hendak mengikutinya, uangnya dari mana? Ini yang disebut: maju kena, mundur kena.
Semua itu terjadi karena perencanaan yang tidak matang. Semuanya serba dikebut untuk hasil yang bernama citra dan reputasi. Seolah-olah pemerintah tidak sukses bila tidak membangun mega proyek bangunan, infrastruktur.