Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Siapa yang Membiayai Ibu Kota?

Kompas.com - 15/01/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETENGAH abad silam, tanggal 15 Januari 1974, Ibu Kota negara, Jakarta, penuh kelabu, mencekam dan terasa menyesakkan.

Demonstrasi besar-besaran para anak muda bangsa, mahasiswa-mahasiswi, menggemuruh dan mengguntur. Jakarta luluh lantak.

Pembakaran mobil, bangunan dan sebagainya, menandai kehidupan Jakarta yang menyedot perhatian dunia ketika itu.

Para mahasiswa melakukan protes terhadap dominasi investasi asing yang dianggap menggerogoti kedaulatan bangsa, menihilkan potensi sendiri, dan mencoreng wajah kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Persis ketika itu, tanggal 14 januari, Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, datang berkunjung ke Indonesia. Para mahasiswa berpekik protes atas kedatangan itu.

Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Malari (malapetaka 15 Januari). Akibatnya, 11 orang meninggal, 137 orang terluka dan 750 orang ditangkap.

AKSI MALARI (Limabelas Januari) 1974 di sepanjang Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.Kompas AKSI MALARI (Limabelas Januari) 1974 di sepanjang Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Para pemimpin mahasiswa diadili dan menjalani pidana penjara untuk sekian tahun lamanya. Sejumlah tokoh dan akademisi yang dianggap sebagai dalang, seolah mengikuti nasib para pemimpin mahasiswa, mendekam di balik jeruji untuk sekian tahun. Gerakan mahasiswa di Jakarta tersebut, juga bergema di daerah-daerah.

Saya tiba-tiba teringat dengan peristiwa tersebut setelah menyaksikan bagaimana kehendak Presiden Jokowi untuk memiliki legacy (peninggalan) dengan mendesakkan keinginan memindahkan ibu kota negara.

Banyak kalangan meragukan kemampuan negara untuk melaksanakan cita-cita luhur itu. Pasalnya, kondisi keuangan negara kita belum sepenuhnya mampu mewujudkan mimpi-mimpi indah tersebut.

Sekarang saja utang negara menumpuk luar biasa, tak tertandingi oleh rezim pemerintahan siapa pun sebelumnya.

Keraguan dan pesimisme di atas, dengan enteng dibalas oleh pemerintah. Pembangunan ibu kota negara, tidak sepenuhnya menggunakan anggaran negara, tetapi 75 persen dibiayai oleh para investor swasta, terutama investor asing.

Maka, berbagai kiat dilakukan oleh pemerintah mengundang investor asing untuk berinvestasi di kawasan ibu kota negara di Kalimantan Timur itu.

Terahir, Presiden Jokowi bertandang ke China untuk mengundang investor China. Sebelum itu, pemerintah mengumumkan bahwa investor Hong Kong akan masuk. Semua kiat ini dilakukan setelah dua calon investor Jepang angkat kaki.

Katakanlah bahwa para investor China dan Hong Kong masuk menyukseskan mega proyek tersebut, lantas apakah masalah serta merta selesai?

Saya justru kian khawatir, masalah baru akan muncul bila persiapan dan perencanaan mitigasi, tidak disusun rapi dan dipersiapkan secara matang. Masalah baru yang bakal muncul itu adalah turunan dari kehadiran para investor asing tersebut.

Penguasaan Asing

Tatkala investor asing sebanyak 75 persen tersebut berlomba, misalnya, membangun infrastruktur gedung, baik untuk perkantoran atau pun rumah tinggal, itu berarti kepemilikan gedung-gedung atau bangunan lainnya, otomatis milik para investor asing tersebut.

Maka, besar kemungkinan pemerintah akan menyewa gedung-gedung milik para investor asing tersebut, untuk menjalankan roda pemerintahan.

Begitu juga perumahan. Para pejabat negeri kita, terutama aparat sipil negara, akan menempati rumah sewaan yang dibiayai oleh negara.

Nah, di sinilah masalah krusialnya karena kita akan kerepotan berurusan dengan agenda sosial yang sangat sensitif, yakni: “Ibu Kota Negara Indonesia adalah milik asing. Bukan milik Indonesia.”

Dengan mudah dinujum, betapa kalutnya persoalan sosial yang bakal kita hadapi. Apalagi, di negeri kita hingga kini, isu dan agenda kohesi sosial belum sepenuhnya terjadi.

Di sana sini, dari waktu ke waktu, dikotomi penguasaan aset-aset sosial dan ekonomi yang dikaitkan dengan agenda ras, masih selalu membara.

Sekam agenda dan isu tersebut sama sekali belum padam. Setiap saat bara sekam tiba-tiba menjadi api yang menyulut dan membakar ke mana-mana.

Padahal, kepemilikan aset-aset ekonomi tersebut masih dalam tangan warga negara Indonesia sendiri, yang kebetulan hanya memiliki ras tertentu.

Bagaimana lagi bila aset-aset ekonomi di ibu kota negara yang baru kelak, dipunyai oleh investor yang bukan warga negara Indonesia. Ini super sensitif.

Tentu pemerintah akan mengatakan bahwa investor yang membangun gedung-gedung, tidak memilikinya, tetapi menggunakan sistem BOT (build operate transfer).

Namun sebelum transfer itu terjadi ke negara, kan investor yang menguasainya selama 190 tahun. Artinya, selama masa itu, pemerintah akan menyewa gedung-gedung tersebut. Apakah baju pelampung agenda ini sudah disiapkan?

Agenda lainnya, kalkulasi dan rincian anggaran untuk setiap proyek yang hendak dibangun, sebaiknya secara serius dilakukan dan dibuka luas.

Kita dapat pelajaran yang amat berharga dari pembangunan jalur kereta cepat Bandung-Jakarta. Anggaran tiba-tiba dibengkakkan oleh China yang memenangkan tender.

Kita pun semua terkaget-kaget dibuatnya. Bila kita tidak menutupi anggaran yang membengkak itu, maka proyek tersebut pasti mangkrak. Bila kita hendak mengikutinya, uangnya dari mana? Ini yang disebut: maju kena, mundur kena.

Semua itu terjadi karena perencanaan yang tidak matang. Semuanya serba dikebut untuk hasil yang bernama citra dan reputasi. Seolah-olah pemerintah tidak sukses bila tidak membangun mega proyek bangunan, infrastruktur.

Motif pembangunan jalur kereta cepat itu lebih banyak muatan politisnya dibanding niat tulus meringankan beban dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Menurut informasi, proyek kereta cepat Bandung-Jakarta, dibangun dengan motif, menyenangkan hati rakyat Jawa Barat.

Maklum, dalam pemilihan presiden tahun 2014, Jokowi-Jusuf Kalla, kalah di provinsi tersebut. Maka, untuk memenangkan pemilihan presiden berikutnya, yakni 2019, dikebutlah pembangunan jalur kereta cepat itu. Hasilnya, ya, itu tadi: anggaran membengkak.

Proyek pemindahan Ibu Kota Negara, sudah menjadi domain Presiden Jokowi. Sejarah tidak bakal menghapusnya. Apalagi, sudah menjadi undang-undang. Menjadi inisiator sesuatu, tidak serta merta berarti harus dinikmati pada saat kita menjadi pengendali.

Saya pun kian rajin membaca dokumen sejarah belakangan ini. Setiap gelar pahlawan nasional disematkan pada diri seseorang, gelar dan status itu diberikan pada saat Sang legenda tidak sedang, misalnya berperang, atau mengendalikan kekuasaan untuk menebar kebaikan.

Legasi adalah status dan simbol tentang jejak kebaikan yang telah dilakukan. Bukan untuk dinikmati pada saat itu. Begitulah harapan saya sebagai rakyat.

Dan yang paling penting, peristiwa Malari 1974, jangan terulang lagi. Pelajaran yang paling penting, dan amat berharga adalah pelajaran yang diajarkan oleh sejarah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com