Megawati punya bahan dan hak menyampaikan kritik dan petuahnya. Ia adalah politikus paling senior saat ini.
Ia melewati tahun-tahun akhir pemerintahan ayahandanya, Bung Karno. Megawati mengikuti secara aktif dan penuh zaman Orde Baru (rezim Soeharto), dan mengalaminya secara aktif dan penuh era reformasi hingga menjelang Pemilu 2024.
Bahkan Megawati merupakan sosok penting saat Soeharto berkuasa hingga Soeharto tumbang dan berlanjut di era reformasi. Parpol asuhannya memenangi pemilu pertama era reformasi.
Maka, sangat masuk akal bila kritik dan petuahnya direfleksikan secara historis dengan menyatakan: “Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh.”
Buat saya, pernyataan tersebut mendalam sekali. Bukan tuduhan terhadap praktik kekuasaan hari ini yang diidentifikasi mirip Orde Baru, melainkan “jasmerah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) banget.
Apalagi Megawati tahu bahwa sebagian besar pelaku politik hari ini adalah orang-orang yang turut mengalami proses politik akhir Orde Baru. Baik saat itu sudah menjadi pelaku maupun sekadar penonton.
Bagi generasi yang melewati masa-masa Orde Baru, mestinya tak ingin melihat Indonesia kembali pada masa kelam itu.
Sungguh kelam, karena itu reformasi bertekat membuang jauh praktik politik ala Orde Baru, menyingkirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi penyakit kronis Orde Baru.
Orde Baru dikenal totalitarian. Kekuasaannya masuk ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Bukan hanya ranah politik, ranah kebudayaan pun dicengkeramnya.
Tak ada ruang publik yang luput dari pengawasan rezim penguasa. Kampus disterilisasi dari ide-ide kritis melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Kekuasaan benar-benar sentralistik di tangan Presiden Soeharto. Tak terbagi, tak terbatasi.
Ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi semata-mata stempel kehendak presiden. Seluruh lembaga negara dan organisasi kemasyarakatan dalam hegemoninya.
Hukum mengikuti kehendak kekuasaan. Bahkan bahasa ditata sedemikian rupa. Tak ada kalimat “Harga BBM naik” pada zaman Orde Baru. Kalimat itu harus dieufemismekan menjadi “Harga BBM disesuaikan.”
Begitu kuatnya kekuasaan Orde Baru nyaris tak terprediksi akan runtuh. Soeharto boleh jadi tak pernah menduga akan dijatuhkan.
Hal itu tampak dari pelaksanaan Pemilu 1997. Seperti Pemilu sebelumnya, tak ada lawan politik. Tak ada aspirasi lain. Hanya satu aspirasi: Soeharto terpilih kembali sebagai presiden.