Salin Artikel

Memaknai Pernyataan Megawati "Orde Baru Akhirnya Juga Jatuh"

“Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh,” kata Megawati (Kompas.com, 10/01/2024).

Saya berusaha menyimak dengan baik pidato Presiden RI ke-5 itu. Saya menduga berisi hal-hal substansial terkait dengan perpolitikan Tanah Air menjelang Pemilu 2024. Baik yang ditujukan kepada kader-kader PDIP maupun kalangan lain.

Baru yang ke-51 ini HUT PDIP tak dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang notabene kadernya. Sejak Jokowi berhasil diantarkan menjadi presiden oleh PDIP, ia selalu hadir saat HUT partai politik (parpol) asuhan Megawati itu.

Meski ada alasan resmi (karena sedang kunjungan luar negeri), ketidakhadiran Jokowi menegaskan posisi politik mutakhir Jokowi dan PDIP. Tak lain penegasan titik pisah.

Kita tahu titik pisah Jokowi dan PDIP terjadi menyusul pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.

Sementara itu, PDIP mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) yang berpasangan dengan Mahfud MD sebagai cawapres.

Tentu saja posisi politik mutakhir itu akan menjadi materi penting bagi Megawati. Baik buat kader-kadernya maupun bangsa Indonesia pada umumnya.

Saya membaca banyak kritik-reflektif dilontarkan Megawati pada pidato HUT PDIP ke-51. Mengritik tindakan politik yang dianggap tidak patut, seperti mempermainkan hukum untuk meraih kekuasaan.

Sekaligus mengingatkan bahwa kekuasaan itu tidak langgeng. Mengingatkan bahwa performa PDIP hingga 51 tahun bukan kerja elitis oleh seseorang (presiden atau menteri) melainkan berkat kecintaan akar rumput (rakyat) yang dicapai melalui kerja keras para kader. Bukan tiba-tiba PDIP menjadi seperti hari ini, melainkan bercucuran keringat.

Maka, saya membaca, lebih dari sekadar pidato politik ketua umum parpol, pidato pada HUT PDIP ke-51 itu terkesan sebagai pidato seorang “guru bangsa”.

Bukan sekadar kritik, tapi berisi petuah penting dari hasil refleksi atas pengalaman panjang Megawati menggeluti dunia politik dan kekuasaan.

Proses panjang itu bukan mulus-mulus saja, meski menyandang status anak Bung Karno (presiden pertama), melainkan justru statusnya sebagai anak Bung Karno membuat jalannya terjal berliku, banyak tikungan tajam, dan naik-turun.

Petuah-petuah itu bukan hanya buat para kader PDIP untuk menghadapi Pemilu 2024, tapi tak kalah penting justru buat bangsa Indonesia.

Lebih khusus lagi buat para elite politik, pemegang kekuasaan di lembaga-lembaga negara, tak terkecuali TNI, Polri, ASN, penyelenggara pemilu, yang sebagian besar adalah generasi yang melewati sejarah politik Indonesia episode “tumbangnya Orde Baru”.

Megawati punya bahan dan hak menyampaikan kritik dan petuahnya. Ia adalah politikus paling senior saat ini.

Ia melewati tahun-tahun akhir pemerintahan ayahandanya, Bung Karno. Megawati mengikuti secara aktif dan penuh zaman Orde Baru (rezim Soeharto), dan mengalaminya secara aktif dan penuh era reformasi hingga menjelang Pemilu 2024.

Bahkan Megawati merupakan sosok penting saat Soeharto berkuasa hingga Soeharto tumbang dan berlanjut di era reformasi. Parpol asuhannya memenangi pemilu pertama era reformasi.

Maka, sangat masuk akal bila kritik dan petuahnya direfleksikan secara historis dengan menyatakan: “Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh.”

Buat saya, pernyataan tersebut mendalam sekali. Bukan tuduhan terhadap praktik kekuasaan hari ini yang diidentifikasi mirip Orde Baru, melainkan “jasmerah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) banget.

Apalagi Megawati tahu bahwa sebagian besar pelaku politik hari ini adalah orang-orang yang turut mengalami proses politik akhir Orde Baru. Baik saat itu sudah menjadi pelaku maupun sekadar penonton.

Bagi generasi yang melewati masa-masa Orde Baru, mestinya tak ingin melihat Indonesia kembali pada masa kelam itu.

Sungguh kelam, karena itu reformasi bertekat membuang jauh praktik politik ala Orde Baru, menyingkirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi penyakit kronis Orde Baru.

Orde Baru dikenal totalitarian. Kekuasaannya masuk ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Bukan hanya ranah politik, ranah kebudayaan pun dicengkeramnya.

Tak ada ruang publik yang luput dari pengawasan rezim penguasa. Kampus disterilisasi dari ide-ide kritis melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Kekuasaan benar-benar sentralistik di tangan Presiden Soeharto. Tak terbagi, tak terbatasi.

Ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi semata-mata stempel kehendak presiden. Seluruh lembaga negara dan organisasi kemasyarakatan dalam hegemoninya.

Hukum mengikuti kehendak kekuasaan. Bahkan bahasa ditata sedemikian rupa. Tak ada kalimat “Harga BBM naik” pada zaman Orde Baru. Kalimat itu harus dieufemismekan menjadi “Harga BBM disesuaikan.”

Begitu kuatnya kekuasaan Orde Baru nyaris tak terprediksi akan runtuh. Soeharto boleh jadi tak pernah menduga akan dijatuhkan.

Hal itu tampak dari pelaksanaan Pemilu 1997. Seperti Pemilu sebelumnya, tak ada lawan politik. Tak ada aspirasi lain. Hanya satu aspirasi: Soeharto terpilih kembali sebagai presiden.

Dan, benar, Sidang Umum (SU) MPR 1998 hasil Pemilu 1997 menetapkan kembali Soeharto sebagai presiden secara aklamasi.

Namun, tragis dan ironis, dua bulan kemudian, tepatnya Mei 1998, Soeharto dipaksa mengundurkan diri dari jabatan yang telah didudukinya selama 32 tahun.

Isu KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) berhembus kencang bersamaan dengan krisis ekonomi. Pemerintah Orde Baru kehilangan kontrol dan legitimasi.

Ujungnya Presiden Soeharto terpaksa mengudurkan diri pada Mei 1998. Meski baru ditetapkan secara aklamasi oleh MPR pada SU MPR Maret 1998.

Saya membaca pernyataan Megawati “Maaf beribu maaf, toh Orde Baru akhirnya juga jatuh” bermaksud mengingatkan sekaligus ajakan. Mestinya pengalaman kelam masa Orde Baru tersebut tak terulang kembali pada Indonesia masa depan.

Ia mengritik keras rekayasa hukum untuk melanggengkan kekuasaan. Ia juga mengecam cara-cara kekerasan dan intimidasi. Apalagi dilakukan aparat negara.

Tak seharusnya kekuasaan dibiarkan semaunya. Kekuasaan harus dibatasi dan dibagi. Kekuasaan harus dilembagakan melalui pranata hukum.

Prinsip negara demokrasi itulah yang seharusnya sama-sama dijunjung tinggi oleh para pelaku politik.

Dari pidato pada HUT PDIP ke-51 tersebut, saya melihat, Megawati konsisten sebagai sosok politikus yang lebih dekat pada model rasionalitas substantif dalam perspektif Weber. Politik dihayati sebagai pelaksanaan prinsip keyakinan dan pencapaian idealisme.

Jalan politik dipahami sebagai jalan pelayanan dan pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara. Bukan sekadar pragmatisme memperoleh kekuasaan.

Nilai-nilai substantif dan etika tak boleh direduksi sekadar alat maksimalisasi perolehan kekuasaan.

Maka, menjadi politikus adalah bekerja demi publik, demi kebaikan bersama, bukan pribadi, bukan keluarga, bukan pula kelompok. Ada keteladanan dan etika yang berimplikasi pada pendidikan politik.

Suatu kritik-reflektif dan petuah yang mencerahkan, namun tak mudah. Sungguh ujian, terutama bagi PDIP.

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/12/11511761/memaknai-pernyataan-megawati-orde-baru-akhirnya-juga-jatuh

Terkini Lainnya

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke