Pentingnya debat ini dalam kehidupan demokrasi agaknya mencerminkan politik gagasan yang saling beradu untuk menjaring yang terbaik di antara keduanya.
Pada sisi lain, sebagai ajang pertunjukkan sepantasnya menghadirkan wajah yang teduh dan penuh nuansa moralitas.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Haedar Nashir (2022) terkait kualitas pemimpin negara bahwa ”martabat pemimpin bukan terletak pada kedigdayaan kekuasaan, tetapi menyangkut kekuatan rohani dan moral kepemimpinan.”
Salah satu kesesatan berpikir (logical fallacy) adalah dengan argumentasi yang menyerang individu. Setidaknya itu yang disebut sebagai argumentum ad hominem.
Bagaimana praktiknya dapat kita simak dengan beberapa dialog dalam debat capres yang tidak substantif, melainkan melebar kepada mengulik persoalan individu daripada materi yang semestinya disampaikan.
Praktik tersebut adalah kampanye yang tidak beretika. Setidaknya penulis memiliki dua alasan: Pertama, secara formal (praktik debat) bahwa dalam perdebatan dipertontonkan kesesatan berpikir yang disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa imbas pempraktikkan model-model pertarungan gagasan seperti itu akan meluas dan mengkhawatirkan.
Dimensi ini juga perlu dipahami dalam kehidupan berdemokrasi, bahwa debat sebagai salah satu perangkat kampanye pemilu mempunyai tujuan yang sama sebagaimana digariskan oleh Pasal 267 UU Pemilu, “Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab”.
Menjadi sangat disayangkan ketika perdebatan itu memberikan edukasi dan percontohan yang tidak semestinya demi meraih keuntungan dan hasrat populisme.
Kedua, secara materil (substansi debat) bahwa gagasan dalam perdebatan yang seharusnya mendominasi justru kalah mencolok dengan substansi-substansi yang melenceng.
Kita perlu mengukur ke-etis-an ini dengan mempertimbangkan bahwa debat calon merupakan satu-satunya model kampanye yang dibiayai “oleh uang rakyat” (melalui APBN) sebagaimana diatur dalam Pasal 451 UU Pemilu.
Sementara tidak tepat jika kesempatan berbicara yang hanya sedikit itu justru tidak memaparkan secara maksimal visi-misi, program, dan materi debat yang sudah dihantarkan di awal tulisan.
Tidak semua masyarakat suka membaca naskah visi-misi yang menumpuk, sementara lebih tertarik menyimak perdebatan.
Penilaian ke-etis-an tersebut diukur dari esensinya. Bukan hanya benar dan salah, tetapi juga baik dan buruk (Jimly, 2017).
Debat yang penuh etika adalah mempertimbangkan kebaikan dan idealitasnya, tidak hanya tampil untuk menang atau lebih dari yang lain.