Melihat perkembangan demokrasi modern sebagai kontes dan partisipasi (Schumpter, 1947), maka siapa calon yang tidak ingin tampil lebih baik dan meraup partisipasi melalui pemilih yang lebih maksimal? Itulah yang kemudian menjadi dilema dari idealitas dan perdebatan calon yang beretika.
Demi hasrat berkuasa, Capres tentu berat mempertimbangkan populisme dan penilaian masyarakat atasnya.
Untuk itu kemudian, perangkat debat yang seharusnya menampilkan keampuhan gagasan atas kritik justru menampilkan keampuhan untuk membredel personifikasi lawan yang tergagap-gagap membangun gagasannya sehingga citra dirinya tampak lebih baik.
Dilema atas citra diri ini juga berangkat dari aturan yang memperbolehkannya untuk ditampilkan dalam kampanye debat.
Kita bisa melihat bahwa secara sistematis debat diartikan sebagai salah satu metode kampanye dalam pemilu.
Sementara kampanye secara definitif dalam UU Pemilu diartikan sebagai ”.. kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu”.
Bahkan itu dipertajam dalam regulasi debat putaran kedua yang bertujuan menajamkan visi, misi, citra diri, dan program masing-masing Pasangan Calon [ Pasal 68 ayat (1) UU Pemilu].
Itu yang tidak bisa dilepaskan.
Hasrat citra diri justru muncul dengan pertama kalinya debat publik itu dipraktikkan di Amerika. Saat Kennedy melawan Nixon, ia (yang lebih muda) mengenakan pakaian menawan dan paras yang rupawan apabila dibandingkan dengan Nixon yang dikatakan seperti orang mati sebab masih mengalami sakit yang lebih kaku di kamera.
Itulah yang kemudian menjadi memori lain yang diingat seputar debat presiden di televisi pertama; yaitu soal citra diri yang dikatakan melebihi substansi. Soal bagaimana Kennedy menang karena ia tampak lebih menarik daripada Nixon.
Namun kita perlu meletakkan soal itu dalam kotak perbincangan politik yang lain. Citra diri perlu diakui merupakan komoditas yang penting untuk dicapai.
Namun mencapai citra diri yang lebih baik dari lawan tidak perlu sampai menguliti personal di momen yang tidak tepat.
Bahkan dicatat, Kennedy dan Nixon justru menyikapi masing-masing dengan akrab. Dalam debatnya, Nixon mencoba menemukan persamaan ide dengan Kenedy dalam kalimat pembuka.
Bahkan Chris Matthews (2011) mencatat “Kennedy dan Nixon berbagi tidur dalam mobil Capital Limited saat kembali ke D.C.”
Kita perlu menutup tulisan ini dengan pelajaran dalam konsep retorika Aristoteles bahwa unsur yang harus dipenuhi dalam beretorika (berdebat dalam konteks ini) adalah Logos (logika), Patos (Emosi), juga yang penting pada konteks ini adalah Etos (etika).
Argumentum Ad Hominem dalam debat capres kemarin adalah bentuk logika yang salah, praktik yang tidak beretika, serta kondisi emosional yang tidak berbudaya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.