Alih-alih menggunakan Istana Negara sebagai tempat resepsi, Ahmadinejad pun melarang polisi apalagi pasukan pengamanan presiden “mengepung” rapat halaman belakang Istana tempat pernikahan digelar.
Galib terjadi, acara pernikahan putra-putri orang nomor wahid selalu dijaga ketat aparat keamanan, bahkan bandar udara di kota pun disesaki parkir pesawat pribadi tamu presiden yang ikut hadir.
Tidak hanya pejabat, presiden dan keluarga, bahkan mengundang ratusan relawan yang dianggap berjasa menopang karier politiknya.
Ahmadinejad dan Farahi menolak bantuan kepolisian setempat untuk bersiaga selama acara berlangsung. Tidak nampak penutupan atau pengalihan arus jalan di sekitaran acara berlangsung.
Ahmadinejad mengatakan, polisi bertugas melayani seluruh masyarakat dan untuk kebutuhan penting, bukan malah jadi satpam pernikahan.
Ada yang dikenang dari Farahi, Ibu Negara ini mendampingi Presiden Ahmadinejad dalam suka maupun duka. Dia pula yang menisik jas-jas Ahmadinejad yang sobek agar masih bisa dikenakan dengan pantas oleh presiden.
Hanya saja hampir tidak pernah Farahi diajak dalam kunjungan kenegaraan yang dilakukan Ahamadinejad ke luar negeri demi menghemat pengeluaran negara.
Farahi pula yang menyediakan kurma dan bekal untuk Ahamdinejad jika berpergian. Jangan bayangkan Farahi mengenakan tas “imut” Mini Lady Dior seharga Rp 79 juta atau sandal Hermes Oasis yang dibanderol Rp 13 juta serta jaket denim dari rumah mode Fendi yang bernilai Rp 24,4 juta.
Begitu kagumnya Mahmoud Ahmadinejad dengan sosok istrinya hingga dia mau menukar dunia agar sang istrinya, Azam Sadat Farahi selalu mau tersenyum. Bukan gombal, ini benar-benar kekaguman presiden terhadap istrinya (Merdeka.com, 9 November 2012).
Ambisi seorang presiden yang semula berjalan di rel kekuasaan yang benar, bisa terjadi di penghujung akhir kekuasaannya berubah menjadi tiran dan diktator berkat “bisikan” seorang istri.
Usai mengalahkan petahana Diosdado Macapagal di pemilihan presiden 1965, Marcos menjabat dua periode kepresidenan Filipina.
Pengaruh Imelda Marcos, istrinya yang begitu “power full” ikut mengatur urusan negara, Marcos berubah menjadi penguasa otoriter pada 1972.
Semua tatanan negara diatur sesuai selera Marcos dan Imelda. Marcos begitu digdaya hingga memimpin Filipina sampai 1986.
Sebagai Ibu Negara, Imelda memanfaatkan posisi suaminya dengan menjadi anggota parlemen (1978 – 1984), Gubernur Metropolitan Manila (1975 – 1986) hingga Menteri Pemukiman Manusia dan Ekologi (1979 – 1986).
Bukan “legacy” kemajuan di bidang kesehatan ibu dan anak yang ditinggalkan oleh Imelda, tetapi warga Filipina dan dunia internasional mengingatnya sebagai kolektor 2.700 pasang sepatu.