Itu sebabnya, masalah serius yang dilakukan Mahkamah Konstitusi hingga Komisi Pemilihan Umum yang mengubah tata cara debat Capres dan debat Cawapres, bisa jadi cerminan terciderainya demokrasi.
Jadi contoh buruk rupa bagi pendidikan politik rakyat yang berharap, agar Pemilu menjadi bagian dari usaha membangun peradaban manusia yang lebih bermartabat.
Dimensi spiritual seorang pemimpin, juga diperlukan untuk menjadi tameng dirinya dalam upaya menjaga etika-moral sehingga berakhlak mulia—sebagaimana telah dicontohkan para manusia bijak bestari sebelum kita.
Seorang pemimpin berkualitas harus memiliki kemampuan spiritualitas mumpuni, intelektualitas yang memadai, dan integritas yang utuh.
Oleh karena itu, debat Capres dan Cawapres menjadi penting untuk menilai kualitas dan kapasitas calon pemimpin yang akan diberikan amanah mengelola 282 juta penduduk di negeri yang luas, dengan sumber daya alam melimpah ruah.
Hal ini bertujuan agar kepentingan seluruh rakyat tidak tergadaikan demi kepentingan segelintir orang. Karena negara ini milik kita bersama, sebagai anak bangsa Indonesia.
Pemimpin yang mangkus, membutuhkan keseimbangan antara dimensi spiritual dan intelektual, karena akan memainkan peran penting dalam membentuk kepemimpinan yang holistik dan berkelanjutan.
Kemampuan menganalisis, merencanakan, dan mengambil keputusan cerdas yang jadi cerminan tingkat intelektualitas, apabila tak diimbangi dengan spiritualitas, maka risiko terisolasi dari nilai-nilai etis dan kepedulian terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan, menjadi nyata.
Oleh karena itu, spiritualitas dapat dianggap sebagai fondasi moral yang memandu pemimpin dalam menghadapi tantangan dengan integritas dan empati.
Sementara itu, kecerdasan intelektual memungkinkan pemimpin untuk mengembangkan strategi adaptasi yang diperlukan guna menghadapi perubahan tersebut.
Pentingnya spiritualitas dan intelektualitas juga terlihat dalam keseimbangan antara visi jangka panjang dan kebijakan praktis.
Pemimpin yang terlalu fokus pada intelektualitas, mungkin cenderung mengabaikan aspek-aspek humanis dan moral dalam pengambilan keputusan.
Sementara mereka yang kurang menghargai kecerdasan intelektual, mungkin kesulitan mengejawantahkan ide-ide berkelanjutan.
Urgensi spiritualitas dan intelektualitas bagi seorang pemimpin tidak dapat diabaikan. Kombinasi seimbang dari kedua aspek ini menciptakan pemimpin yang mampu memandu perilakunya dengan sarat visi, sarat etika, dan kecerdasan berorientasi kepentingan nasional, yang akan menciptakan dampak positif berkelanjutan.
Uraian tersebut, tentu saja relevan dengan teori kepemimpinan berbasis keseimbangan spiritualitas dan intelektualitas, terkait dengan konsep “kepemimpinan holistik”, yang mengusulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kebijaksanaan spiritual, dalam mengambil keputusan ketika memimpin banyak orang.
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang mendukung konsep kepemimpinan holistik. Misalnya, surah (Al-Hujurat [49]: 13) yang menggambarkan pentingnya menjaga persatuan dan saling mengenal antara sesama umat manusia, serta menunjukkan pentingnya dimensi relasional dalam kepemimpinan.
Ada pula surah (Al-Baqarah [2]: 269) dan ‘Ali Imran [3]: 159) yang menekankan nilai penting kebijaksanaan dan mendengarkan nasihat yang baik dalam mengambil keputusan.
Bagavad Ghita, yang merupakan bagian dari epik Mahabharata dalam agama Hindu, juga punya pandangan tentang kepemimpinan holistik.
Di dalamnya, terdapat konsep “Raja Rishi”, yang menggabungkan kepemimpinan dunia dengan kebijaksanaan spiritual. Konsep ini menekankan betapa seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan spiritual dalam memimpin masyarakat.