Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Mungkinkah Jokowi Melindungi Setya Novanto?

Kompas.com - 04/12/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KISAH dapat dituturkan kapan saja. Peristiwa kapan pun bisa dimaklumkan. Cerita, baik faktual maupun fiksi, boleh dibagi-bagi kepada siapa pun, tanpa harus menghitung kapan masa pembagiannya.

Khusus kisah tentang kebenaran, sekali pun itu super rahasia dan sensitif yang melibatkan masalah keamanan dan keselamatan publik di dalamnya, lambat atau tidak, pasti terbuka.

Di banyak negara di dunia ini, selalu ada aturan yang membolehkan membuka dokumen yang berkaitan dengan peristiwa masa silam, setelah sekian lama dokumen-dokumen tersebut mengendap tanpa ada yang boleh mengetahuinya.

Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyampaikan keterangan pers tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) pengurusan izin impor bawang putih di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/8/2019). KPK menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan pengurusan kuota dan izin impor bawang putih tahun 2019 di antaranya I Nyoman Dhamantra dan pemberi suap pemilik PT Cahaya Sakti Agro CFU alias Afung dengan barang bukti uang 50 ribu dolar Amerika serta bukti transfer sebesar Rp 2,1 miliar.ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyampaikan keterangan pers tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) pengurusan izin impor bawang putih di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/8/2019). KPK menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan pengurusan kuota dan izin impor bawang putih tahun 2019 di antaranya I Nyoman Dhamantra dan pemberi suap pemilik PT Cahaya Sakti Agro CFU alias Afung dengan barang bukti uang 50 ribu dolar Amerika serta bukti transfer sebesar Rp 2,1 miliar.
Mungkin jalan pikiran inilah yang menggelayut di hati Agus Rahardjo, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga ia membuka kisah yang menghebohkan.

Dalam wawancaranya dengan Rosi di Kompas TV, ia berkisah pernah dipanggil menghadap ke Presiden Jokowi.

Di situ, katanya, presiden menggelegar, marah, karena KPK tidak menghentikan pengusutan kasus Setya Novanto, mantan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI.

Baca juga: Alex dan Saut Juga Mendengar Cerita Agus Dimarahi dan Diperintah Jokowi Hentikan Kasus Setnov

Tirai kisah yang selama ini terselubung, dibuka oleh Agus Rahardjo. Ia seolah berteriak kencang kepada republik ada penggalan kisah tentang pemberantasan korupsi, yang harus diketahui oleh publik.

Dan tokoh yang berkaitan dengan kisah itu, tidak tanggung-tanggung, Presiden Republik Indonesia.

Tentu saja pihak Istana membantahnya dengan alibi, tidak pernah ada dalam catatan administrasi Agus Rahardjo bertemu dengan Presiden Jokowi, yang ketika itu, juga didampingi oleh Mensekneg, Pratikno.

Baca juga: Agus Rahardjo Mengaku Diperintah Jokowi Setop Kasus Setya Novanto, Istana: Kenyataannya Proses Hukum Terus Berjalan

Pratikno mengaku ke media bahwa dirinya sudah lupa dengan kejadian itu.

Belakangan, Jokowi membantah. Ia mengaku memerintahkan Praktikno untuk memeriksa soal pertemuan tersebut. Hasilnya, menurut Jokowi, tidak ada pertemuan seperti yang dijelaskan oleh Agus.

Jokowi juga membantah soal kabar yang menyebutkan dirinya meminta agar kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto pada saat itu dihentikan.

Presiden meminta publik melihat kembali pemberitaan pada November 2017 lalu. Pada saat itu, Jokowi telah meminta agar Setya Novanto menjalani proses hukum hingga akhirnya divonis hukuman 15 tahun penjara.

Saya berusaha tidak memasukkan diri dalam kisah dan bantahan itu. Saya ingin menulis dari aspek kemungkinan saja.

Saya memulai esei dengan pertanyaan dasar: apakah ada sesuatu yang terjadi sehingga Presiden Jokowi bisa ditafsirkan mungkin melindungi Setya Novanto? Untuk pertanyaan ini, ada baiknya kita mundur ke belakang beberapa tahun lalu.

Pada 17 Mei 2016, Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum dalam Munaslub Partai Golkar di Bali. Ia mengandaskan harapan seorang kader Partai Golkar lainnya, Ade Komaruddin.

Saat-saat itu, santer diberitakan bahwa operator kemenangan Setya Novanto, adalah salah seorang kader Partai Golkar, andalan Presiden Jokowi sendiri.

Hanya beberapa hari setelah terpilih, dengan lantang dan mengagetkan, Setya Novanto mengumumkan ke media bahwa partainya mendukung dan mencalonkan Presiden Jokowi untuk masa jabatan kedua.

Agak mengagetkan pada masa itu, karena Presiden Jokowi baru memangku jabatan presiden dua tahun, tiba-tiba sudah ada yang berpikir untuk periode kedua.

Tentu saja pernyataan Setya Novanto tersebut adalah angin similar lembut yang menyejukkan buat Presiden Jokowi.

Maklum, saat-saat itu, Jokowi baru belajar menguasai panggung. Baru berusaha belajar menjaga keseimbangan dan perimbangan seluruh kekuatan politik di negeri yang dipimpinnya.

Maka, kehadiran Partai Golkar yang memberi jaminan dan bisa dijadikan sekutu abadi, tentu saja berkah bagi Presiden Jokowi. Apalagi, Partai Golkar adalah partai besar. Bukan partai pelengkap penderita.

Lagi pula, kala itu, ada gangguan keleluasaan Jokowi karena ada ketidakharmonisan antara dirinya dengan Megawati bersama PDI-P. Pangkal soal, ada pada Menteri BUMN masa itu, Rini Sumarmo.

Menteri Jokowi ini, adalah sekutu lama Megawati yang menurut kisah, tiba-tiba berlagak dan menjadi orang terdekat Presiden, dan membokongi Megawati. Pada masa-masa itulah muncul istilah “petugas partai.”

Dengan alur kisah ini, bisa saja publik menganggap adanya kemungkinan motif Presiden Jokowi untuk melindungi Setya Novanto.

Setya Novanto dinyatakan tersangka pada 17 Juli 2017. Bila Novanto masuk bui, maka tentu saja konstelasi percaturan pengusungan Jokowi untuk periode kedua, bisa berantakan.

Maka, menurut jalan pikiran ini, Presiden Jokowi memang bisa terganggu dengan langkah-langkah KPK terhadap Setya Novanto.

Kisah belum berakhir sampai di sini. Kita tentu masih ingat cerita tentang “papa minta saham" berkaitan dengan Setya Novanto yang meminta saham Freeport.

Baca juga: Ini Transkrip Lengkap Rekaman Kasus Setya Novanto

Menteri ESDM era tersebut, Sudirman Said, melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan DPR RI pada 16 November 2015.

Sudirman Said memberikan rekaman utuh percakapan Setya Novanto dan seorang pengusaha, Riza Khalid serta Ma’ruf Syamsuddin, Presdir Freeport.

Mahkamah Kehormatan memutuskan Setya Novanto bersalah, dan ia dilengserkan sebagai ketua DPR RI. Namun, hari yang sama, Novanto menyatakan mengundurkan diri.

Ironinya, Sudirman Said sebagai pembongkar kejahatan, harus mengakhiri pengabdiannya di republik sebagai menteri. Ia justru kena reshuffle pada 27 Juli 2016.

Namun, mengapa baru sekarang Agus Rahardjo memuntahkan pengetahuan dan pengalamannya itu?

Saya menduga keras, barulah ada seorang jurnalis yang bertanya, mendesak dan membujuk Agus Rahardjo untuk membuka tirai yang selama ini ditutupinya.

Di sinilah kehebatan seorang Rosiana Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas TV. Ia mampu mencari narasumber yang tepat secara tematis dan momentum.

Selain dengan naluri tajam, Rosi memang memiliki kehandalan dalam metode untuk menggali dan menemukan jawaban.

Kemungkinan lain, Agus Rahardjo sudah tak tahan melihat pat gulipat permainan hukum di negeri kita ini.

Bisa jadi, Agus Rahardjo berkaca dari kasus Mahkamah Konstitusi yang dipermainkan sedemikian rupa untuk kepentingan kelanjutan kekuasaan. Lalu, Agus baru sadar bahwa lembaganya pun pernah hendak diintervensi kekuasaan.

Apa pun posisi kita melihat alur kisah tentang Setya Novanto tersebut, secara hukum, Presiden Jokowi masih pelik untuk disidik karena ucapan Agus Rahardjo barulah bersifat pernyataan sepihak.

Penegakan hukum harus memegang prinsip evidence must go beyond reasonable doubt.

Sebaliknya, bila pernyataan Agus Rahardjo di kemudian hari bisa terkonfirmasi secara faktual, maka Presiden Jokowi layak tidak tidur nyenyak. Bisa-bisa akan menimbulkan kegaduhan politik yang berujung ke pemakzulan (impeachment).

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com