Faktanya, yang eksis adalah praktik ekonomi rente sebagai bagian dari eksistensi ekonomi politik kolektif penguasa di satu sisi dan berlangsungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi di sisi yang lain.
Dan semua praktik buruk tersebut diklaim oleh para elite kita atas nama rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan privilege untuk mengakumulasi modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya sebatas punya hak mencoblos di bilik suara, kemudian terlupakan.
Terbukti sampai hari ini bahwa demokrasi prosedural yang berkembang di tanah ibu pertiwi ini adalah demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak masih sebatas untuk kepentingan elite ekonomi dan penguasa politik.
Bukan untuk para pihak mayoritas yang selalu kecewa atas apapun yang dicoblosnya di dalam bilik suara yang sekali memilih, namun harus kecewa selama kurun waktu lima tahun.
Lihat saja data distribusi kekayaan ekonomi nasional yang semakin sangat tidak adil. Menurut laporan Global Wealth Databook dari Credit Suisse, populasi orang super kaya atau crazy rich di Indonesia sangat kecil.
Pada 2021, hanya ada sekitar 191.000 orang (0,1 persen) penduduk dewasa Indonesia yang punya kekayaan di atas 1 juta dollar AS atau lebih dari Rp15 miliar (asumsi kurs Rp 15.000 per dollar AS).
Kemudian sekitar 3,7 juta orang (2 persen) kekayaannya berkisar antara 100.000 dollar AS sampai 1 juta dollar AS (Rp 1,5 miliar sampai Rp 15 miliar).
Sekitar 57 juta orang (31 persen) kekayaannya antara 10.000 dollar AS sampai 100.000 dollar AS (Rp150 juta sampai Rp 1,5 miliar).
Adapun kelompok mayoritas, yakni sekitar 122,8 juta orang (66,8 persen) penduduk dewasa Indonesia kekayaannya di bawah 10.000 dollar AS (kurang dari Rp 150 juta).
Bahkan dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen total kekayaan penduduk.
Sementara itu, kepemilikan dana di perbankan nasional juga tak kalah mirisnya alias jauh lebih timpang lagi.
Data dari Oxfam, NGO asal Inggris, mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk. Luar biasa timpang, bukan!
CNBC Indonesia Intelligence Unit menunjukkan data Oxfam ternyata tidak mengada-ngada. Temuan tersebut berdasarkan olah data publik kepemilikan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang dilansir setiap bulan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dikombinasikan data kepemilikan rekening versi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI)
Hasilnya, ketimpangan jurang kekayaan kaya dan miskin menggunakan data uang simpanan di bank lebih telanjang.
Rupanya, sebanyak Rp 4.231 triliun atau sekitar 53 persen dari total DPK perbankan yang mencapai Rp 8.049 triliun itu cuma dimiliki oleh hanya 0,02 persen populasi penduduk Indonesia.
Kalau dijumlahkan cuma segelintir orang kaya saja di kelompok populasi itu, sekitar 54.000 orang dari jutaan penduduk Indonesia, dengan rata-rata isi kantong simpanan mereka per orang sebesar Rp 98 miliar.
Jurang si miskin versi uang simpanan ada di klaster DPK perbankan sebanyak Rp 1.007 triliun yang dimiliki secara keroyokan oleh sekitar 170 juta orang atau setara 63,05 persen populasi, di mana kalau di rata-rata isi simpanannya tidak sampai Rp 6 juta.
Kelompok ketiga adalah kelas menengah yang cenderung berlapis-lapis kelasnya, dari mulai kepemilikan simpanan di bank Rp 421 juta hingga Rp 9,5 miliar, yang mencakup 0,8 persen populasi atau sekitar 2,1 juta orang penduduk yang kalau dirata-rata simpanan masing-masing sebesar Rp 3,5 miliar.
Artinya apa? Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini lebih banyak dinikmati oleh sebagian orang-orang tajir di negeri ini, yang sebagian dari mereka telah menjelma menjadi jejaring oligarki yang ikut mendominasi proses demokrasi.
Lalu ikut memproduksi ketidakadilan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan kelompok mereka sendiri.
Dengan kata lain, kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi sehingga berpotensi menjadi masalah yang serius pada masa depan, jika tidak dicarikan solusinya segera. Semoga saja masih ada yang peduli hal strategis ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.