Salin Artikel

Kapitalisme dan Kuasa Oligarki Berkedok Demokrasi

Pada ranah ideal, pembangunan tentu harus untuk semua warga negara, bukan untuk segelintir penguasa atau elite ekonomi semata. Namun dalam kenyataannya seringkali distribusi dan alokasi manfaat pembangunan tidak merata.

Nah, tepat pada ranah inilah negara harus mewujudkan peran etisnya melalui apa yang oleh Peter Evans (1998) disebut sebagai peran "husbandry" (the husbandry role).

Peran tersebut berkenaan dengan campur tangan negara untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi secara seimbang dan adil.

Dalam konteks itu pula negara harus terus diyakinkan bahwa pembangunan bukan sekadar wahana transaksi kekuasaan para elite dan pemilik modal.

Negara harus berperan untuk melindungi, mengawasi, dan mencegah terjadinya perilaku ekonomi yang dinilai dapat merugikan sebagian besar kelompok masyarakat yang ada.

Ketika peran-peran tersebut bisa dilakukan, maka di situlah negara mampu menunjukkan dirinya sebagai institusi rasional yang bisa mengawal seluruh proses pembangunan secara tepat.

Celakanya, di banyak kasus, negara seringkali luput untuk mendata satu per satu nisbah dari pembangunan yang telah diselenggarakan.

Akibatnya, anggaran pembangunan yang digelontorkan acapkali tidak menampilkan wajah kemakmuran, tetapi justru menyodorkan arogansi keinginan pemenang kontestasi di satu sisi dan kepentingan jejaring elite yang mengelilinginya di sisi lain.

Walhasil, ketimpangan yang akut beserta indeks kesejahteraan yang bergerak sangat lambat akan menjadi buahnya.

Oleh karena itu, untuk mengurai dan memperkecil disparitas dan ketimpangan, negara tidak boleh hanya bermain di zona hilir kebijakan. Masalah yang ada di hulunya pun harus terselesaikan.

Toh pemerintah memang harus menyegerakan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah, meningkatkan integrasi dan interkonektivitas seluruh wilayah di Indonesia sehingga terjadi pemerataan pembangunan.

Lebih dari itu semua, hal terpenting adalah komitmen negara untuk memastikan seluruh program yang dicanangkan berjalan baik alias bukan hanya slogan politik untuk memenuhi libido pencitraan.

Mengatasi ketimpangan tidak bisa secara parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan formula yang tepat.

Tanpa itu semua, persoalan ketimpangan dan kesenjangan tak mungkin dapat diurai, justru di kemudian hari malah akan berkontribusi pada semakin defisitnya neraca sosial pembangunan kita.

Pertumbuhan ekonomi, misalnya, sejak beberapa tahun belakangan hanya berkutat pada angka 5 persen, bahkan pertumbuhan kuartal tiga tahun ini hanya di atas angka-angka tersebut sedikit.

Kondisi itu jelas membutuhkan perumusan strategi yang lebih tepat untuk mencapai pertumbuhan berkeadilan dengan tingkat pertumbuhan lebih tinggi di satu sisi, tapi juga berkualitas di sisi lain.

Poin utamanya, pemerintah perlu membuat dan merumuskan kebijakan koheren dan konsisten, tidak saja dalam menghadapi situasi ketidakpastian seperti hari ini, tapi juga dalam mencapai keadilan ekonomi yang lebih merata.

Banyak sektor perlu mendapat perhatian serius, bukan hanya infrastruktur yang dielu-elukan pemerintah.

Antara lain soal pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial; soal pertanian, kedaulatan pangan dan energi; soal pembangunan industri dan daya saing; serta soal investasi dan infrastruktur.

Saat ini disparitas dan ketimpangan memang masih menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia yang selama ini hanya mengedepankan kuantitas pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan.

Akibatnya, ketimpangan terjadi secara multidimensi: antar wilayah, antarsektor, serta antarkelompok pendapatan.

Oleh karena itu, nilai moral yang tak boleh ditawar adalah negara wajib mengemban peran etisnya untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan penduduk yang menjadi tanggung jawabnya, sekaligus soal hidup dan penghidupan masyarakat.

Program-program rasional pembangunan pada ujungnya tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara, yakni apakah program tersebut mampu mengajak seluruh rakyat mengalami mobilitas bersama atau hanya mengajak segilintir kelompok dan pelaku ekonomi saja.

Karena itu pula, rona kebijakan publik yang diproduksi tidak boleh kehilangan saripati sosialnya. Ruang-ruang perdebatan publik yang terhampar di seluruh lini birokrasi negara tidak boleh habis hanya untuk memperbincangkan jatah kursi pemilu, anggaran negara untuk belanja fasilitas pegawai, anggaran hankam atau pun perdebatan dangkal soal pilkada maupun pilpres.

Ke depan, keberlangsungan kebijakan pembangunan tidak semestinya melahirkan bencana sosial ketimpangan yang justru menodai proses pembangunan.

Prinsip utama yang wajib menjadi rambu bahwa kebijakan yang diambil harus mulai diformulasikan bukan sekadar untuk bersanding dengan pasar, tetapi juga bertarung untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyat, agar lobang-lobang ketimpangan tidak semakin menganga.

Nyatanya, ketimpangan justru semakin memburuk, karena sejak reformasi bergulir, kekuasaan cenderung memilih untuk berpihak kepada kepentingan elite-elite ekonomi politik negeri ini yang tanpa malu-malu sudah mulai menginvasi demokrasi elektoral kita.

Walhasil, kebijakan-kebijakan ekonomi nasional justru semakin mengenyangkan segelintir penguasa ekonomi yang tergabung ke dalam jejaring oligarki penopang kekuasaan istana tersebut

Sehingga perkembangannya secara statistik dan ekonomi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Pikkety, seorang guru besar bidang ekonomi berasal dari Perancis dalam buku “Capital in The Twenty-First Century” dan oleh Joseph E. Stiglitz, penerima penghargaan Nobel Laureate bidang ekonomi tahun 2001 di dalam buku “The Price of Inequality” atau oleh Robert Reich dalam buku “Inequality for All”, tingkat pertumbuhan kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampaui tingkat pertumbuhan gaji para pekerja (wages) dan tingkat pertumbuhan standard hidup layak para pekerja (standard of living).

Menurut para ekonom itu, ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak sinkron antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah.

Di satu sisi kekayaan para konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup bombastis, sementara itu di sisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja nyaris stagnan.

Sehingga menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah.

Sementara itu secara politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial “The end of History and The Last Man” tepat setelah runtuhnya Uni Soviet , yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat sendiri pendiriannya.

Dalam karya-karya terbarunya, baik “ The Origin of Political Order – terbit tahun 2011” maupun “Political Order and Political Decay – terbit tahun 2014”, Frank, panggilan akrab Fukuyama, mulai pesimistis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas.

Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri.

Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz, menyayangkan berkembangnya model “rent seeking economic” yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik.

Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaannya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political patrimony) dalam sistem politik.

Menurut dia, model ekonomi rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism pattern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap rakyatnya.

Para pemilik modal dengan mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama masa kontestasi pemilu yang harus dibayar oleh para politisi.

Melorotnya responsivitas pemerintah (the government) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada memburuknya kualitas akuntabilitas publik.

Pemerintah merasa jauh lebih bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang (pemilik modal) ketimbang kepada rakyat.

Sehingga akhirnya demokrasi sebagai imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian rupa.

Demokrasi kembali ke sistem Schumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Schumpeter) yang sangat teknis dan prosedural, di mana demokrasi terdegradasi ke level yang sangat teknis, yakni sekadar pemilihan umum semata, tanpa terkait dengan urusan keadilan ekonomi dan kesejahteraan mayoritas rakyat.

Nah, karena perkembangan tersebut, secara fundamental ideologis maupun secara historis, demokrasi Pancasila yang lahir dari perdebatan-perdebatan ciamik masa lampau itu, kini tersisa cuma sebatas nama yang hanya disebut-sebut secara simbolistis saja.

Dalam perjalanannya sampai saat ini, tarik ulur antara individualisme dan kolektifisme hanya eksis di dalam perdebatan intelektual.

Faktanya, yang eksis adalah praktik ekonomi rente sebagai bagian dari eksistensi ekonomi politik kolektif penguasa di satu sisi dan berlangsungnya aglomerasi kapital di tangan-tangan segelintir konglomerasi di sisi yang lain.

Dan semua praktik buruk tersebut diklaim oleh para elite kita atas nama rakyat, baik rakyat yang mendapat akses dan privilege untuk mengakumulasi modal sebanyak yang mereka bisa, maupun rakyat yang hanya sebatas punya hak mencoblos di bilik suara, kemudian terlupakan.

Terbukti sampai hari ini bahwa demokrasi prosedural yang berkembang di tanah ibu pertiwi ini adalah demokrasi yang tumbuh, hidup, serta berkembang biak masih sebatas untuk kepentingan elite ekonomi dan penguasa politik.

Bukan untuk para pihak mayoritas yang selalu kecewa atas apapun yang dicoblosnya di dalam bilik suara yang sekali memilih, namun harus kecewa selama kurun waktu lima tahun.

Lihat saja data distribusi kekayaan ekonomi nasional yang semakin sangat tidak adil. Menurut laporan Global Wealth Databook dari Credit Suisse, populasi orang super kaya atau crazy rich di Indonesia sangat kecil.

Pada 2021, hanya ada sekitar 191.000 orang (0,1 persen) penduduk dewasa Indonesia yang punya kekayaan di atas 1 juta dollar AS atau lebih dari Rp15 miliar (asumsi kurs Rp 15.000 per dollar AS).

Kemudian sekitar 3,7 juta orang (2 persen) kekayaannya berkisar antara 100.000 dollar AS sampai 1 juta dollar AS (Rp 1,5 miliar sampai Rp 15 miliar).

Sekitar 57 juta orang (31 persen) kekayaannya antara 10.000 dollar AS sampai 100.000 dollar AS (Rp150 juta sampai Rp 1,5 miliar).

Adapun kelompok mayoritas, yakni sekitar 122,8 juta orang (66,8 persen) penduduk dewasa Indonesia kekayaannya di bawah 10.000 dollar AS (kurang dari Rp 150 juta).

Bahkan dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen total kekayaan penduduk.

Sementara itu, kepemilikan dana di perbankan nasional juga tak kalah mirisnya alias jauh lebih timpang lagi.

Data dari Oxfam, NGO asal Inggris, mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk. Luar biasa timpang, bukan!

CNBC Indonesia Intelligence Unit menunjukkan data Oxfam ternyata tidak mengada-ngada. Temuan tersebut berdasarkan olah data publik kepemilikan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang dilansir setiap bulan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dikombinasikan data kepemilikan rekening versi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI)

Hasilnya, ketimpangan jurang kekayaan kaya dan miskin menggunakan data uang simpanan di bank lebih telanjang.

Rupanya, sebanyak Rp 4.231 triliun atau sekitar 53 persen dari total DPK perbankan yang mencapai Rp 8.049 triliun itu cuma dimiliki oleh hanya 0,02 persen populasi penduduk Indonesia.

Kalau dijumlahkan cuma segelintir orang kaya saja di kelompok populasi itu, sekitar 54.000 orang dari jutaan penduduk Indonesia, dengan rata-rata isi kantong simpanan mereka per orang sebesar Rp 98 miliar.

Jurang si miskin versi uang simpanan ada di klaster DPK perbankan sebanyak Rp 1.007 triliun yang dimiliki secara keroyokan oleh sekitar 170 juta orang atau setara 63,05 persen populasi, di mana kalau di rata-rata isi simpanannya tidak sampai Rp 6 juta.

Kelompok ketiga adalah kelas menengah yang cenderung berlapis-lapis kelasnya, dari mulai kepemilikan simpanan di bank Rp 421 juta hingga Rp 9,5 miliar, yang mencakup 0,8 persen populasi atau sekitar 2,1 juta orang penduduk yang kalau dirata-rata simpanan masing-masing sebesar Rp 3,5 miliar.

Artinya apa? Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini lebih banyak dinikmati oleh sebagian orang-orang tajir di negeri ini, yang sebagian dari mereka telah menjelma menjadi jejaring oligarki yang ikut mendominasi proses demokrasi.

Lalu ikut memproduksi ketidakadilan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan kelompok mereka sendiri.

Dengan kata lain, kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi sehingga berpotensi menjadi masalah yang serius pada masa depan, jika tidak dicarikan solusinya segera. Semoga saja masih ada yang peduli hal strategis ini.

https://nasional.kompas.com/read/2023/12/03/08195001/kapitalisme-dan-kuasa-oligarki-berkedok-demokrasi

Terkini Lainnya

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke