Program-program rasional pembangunan pada ujungnya tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara, yakni apakah program tersebut mampu mengajak seluruh rakyat mengalami mobilitas bersama atau hanya mengajak segilintir kelompok dan pelaku ekonomi saja.
Karena itu pula, rona kebijakan publik yang diproduksi tidak boleh kehilangan saripati sosialnya. Ruang-ruang perdebatan publik yang terhampar di seluruh lini birokrasi negara tidak boleh habis hanya untuk memperbincangkan jatah kursi pemilu, anggaran negara untuk belanja fasilitas pegawai, anggaran hankam atau pun perdebatan dangkal soal pilkada maupun pilpres.
Ke depan, keberlangsungan kebijakan pembangunan tidak semestinya melahirkan bencana sosial ketimpangan yang justru menodai proses pembangunan.
Prinsip utama yang wajib menjadi rambu bahwa kebijakan yang diambil harus mulai diformulasikan bukan sekadar untuk bersanding dengan pasar, tetapi juga bertarung untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyat, agar lobang-lobang ketimpangan tidak semakin menganga.
Nyatanya, ketimpangan justru semakin memburuk, karena sejak reformasi bergulir, kekuasaan cenderung memilih untuk berpihak kepada kepentingan elite-elite ekonomi politik negeri ini yang tanpa malu-malu sudah mulai menginvasi demokrasi elektoral kita.
Walhasil, kebijakan-kebijakan ekonomi nasional justru semakin mengenyangkan segelintir penguasa ekonomi yang tergabung ke dalam jejaring oligarki penopang kekuasaan istana tersebut
Sehingga perkembangannya secara statistik dan ekonomi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Pikkety, seorang guru besar bidang ekonomi berasal dari Perancis dalam buku “Capital in The Twenty-First Century” dan oleh Joseph E. Stiglitz, penerima penghargaan Nobel Laureate bidang ekonomi tahun 2001 di dalam buku “The Price of Inequality” atau oleh Robert Reich dalam buku “Inequality for All”, tingkat pertumbuhan kekayaan kelompok ekonomi teratas jauh melampaui tingkat pertumbuhan gaji para pekerja (wages) dan tingkat pertumbuhan standard hidup layak para pekerja (standard of living).
Menurut para ekonom itu, ada pergerakan tingkat pertumbuhan yang tidak sinkron antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat menengah ke bawah.
Di satu sisi kekayaan para konglomerat terus tumbuh setiap tahun dengan angka yang cukup bombastis, sementara itu di sisi lain gaji karyawan dan standar hidup layak para pekerja nyaris stagnan.
Sehingga menimbulkan jurang (cliff) yang sangat tajam antara masyarakat kaya (the have) dengan masyarakat menengah ke bawah.
Sementara itu secara politik, Francis Fukuyama, penulis buku kontroversial “The end of History and The Last Man” tepat setelah runtuhnya Uni Soviet , yang sebelumnya begitu percaya diri dan agak jumawa mengatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah tujuan akhir dari evolusi peradaban manusia, akhirnya meralat sendiri pendiriannya.
Dalam karya-karya terbarunya, baik “ The Origin of Political Order – terbit tahun 2011” maupun “Political Order and Political Decay – terbit tahun 2014”, Frank, panggilan akrab Fukuyama, mulai pesimistis dengan perkembangan mutakhir demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas.
Kapitalisme dan demokrasi liberal telah memperlihatkan tanda-tanda kurang baik yang bisa merusak idealitas demokrasi itu sendiri.
Frank, sebagaimana Joseph Stiglitz, menyayangkan berkembangnya model “rent seeking economic” yang ternyata berimbas buruk pada dunia politik.
Ekonomi rente yang secara terus-menerus memberi peluang besar terhadap para pemilik modal untuk mengakumulasi kekayaannya malah mendorong terbentuknya pola patrimonialistik (political patrimony) dalam sistem politik.
Menurut dia, model ekonomi rente mendorong terbentuknya relasi politik patron-klien (clientalism pattern) yang sayangnya malah menumpulkan responsivitas pemerintah terhadap rakyatnya.
Para pemilik modal dengan mudah menyetir arah kebijakan pemerintah, bahkan mereka mempunyai kemampuan memaksa di dalam proses pembuatan kebijakan karena piutang politik selama masa kontestasi pemilu yang harus dibayar oleh para politisi.
Melorotnya responsivitas pemerintah (the government) terhadap kepentingan masyarakat pemilih berimbas pada memburuknya kualitas akuntabilitas publik.
Pemerintah merasa jauh lebih bertanggung jawab kepada kemajuan usaha dan akumulasi modal segelintir orang (pemilik modal) ketimbang kepada rakyat.
Sehingga akhirnya demokrasi sebagai imperatif moral dan sebagai sistem instrumental yang mendorong aktualisasi kebebasan dan kemanusiaan malah terdegradasi sedemikian rupa.
Demokrasi kembali ke sistem Schumpeterian (merujuk pada pemikir ekonomi fenomenal Joseph Schumpeter) yang sangat teknis dan prosedural, di mana demokrasi terdegradasi ke level yang sangat teknis, yakni sekadar pemilihan umum semata, tanpa terkait dengan urusan keadilan ekonomi dan kesejahteraan mayoritas rakyat.
Nah, karena perkembangan tersebut, secara fundamental ideologis maupun secara historis, demokrasi Pancasila yang lahir dari perdebatan-perdebatan ciamik masa lampau itu, kini tersisa cuma sebatas nama yang hanya disebut-sebut secara simbolistis saja.
Dalam perjalanannya sampai saat ini, tarik ulur antara individualisme dan kolektifisme hanya eksis di dalam perdebatan intelektual.