Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Putusan MKMK, Gibran, dan Resesi Demokrasi

Kompas.com - 09/11/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam tulisannya di Journal of Democracy, Facing Up to Democratic Recession, Januari 2015, Larry mengungkapkan bahwa sejak 2006, sebagian negara-negara yang terkena gelombang demokratisasi versi Samuel P. Huntington, mulai memperlihatkan freedom score yang memburuk.

"Sekitar tahun 2006, perluasan kebebasan dan semangat berdemokrasi di dunia terhenti," kata Larry.

Sebagai informasi, Freedom score adalah pemeringkatan negara-negara di dunia berdasarkan level kebebasan yang berlaku di masing-masing negara.

Parameternya diukur berdasarkan dua indikator utama, yakni kebebasan sipil (civil liberty) dan hak-hak politik (political francise). Freedom score menjadi indikator demokrasi yang paling banyak diacu untuk mengukur tingkat demokrasi di suatu negara.

Tidak ada perluasan signifikan dari dalam jumlah negara yang menganut demokrasi elektoral. Angkanya hanya bergerak tipis pada kisaran 114 dan 119 negara atau sekitar 60 persen dari negara-negara di dunia.

Bahkan berdasarkan data yang dianalisa Diamond, jumlah negara yang mengadakan pemilihan secara demokratis (demokrasi liberal) mulai menurun dan pelan-pelan justru stagnan.

Artinya, hanya terdapat penambahan 6 negara yang menjadi negara demokratis sejak 2006, naik tipis dari 114 negara menjadi 119 negara.

Diamond menulis, "sejak tahun 2000, berdasarkan hitungan saya, terjadi 25 kerusakan demokrasi di dunia - tidak hanya melalui kudeta militer atau eksekutif yang terang-terangan bertindak otoriter, tapi juga melalui degradasi hak-hak demokrasi, baik secara ekstrem maupun secara bertahap. Beberapa dari kerusakan tersebut terjadi pada demokrasi berkualitas rendah. Namun, dalam setiap kasus, kualitas kompetisi dari pemilihan multipartai cenderung terdegradasi ke bawah standar minimal demokrasi."

Dalam konteks dan perspektif berbeda, kesimpulan Diamond kemudian diaminkan oleh pakar ekonomi politik asal Amerika Serikat lainnya, yaitu Francis Fukuyama dalam karya penghormatannya terhadap Samuel P. Huntington, yakni "Political Decay dan Political Order" (judul ini juga digunakan oleh Huntington pada tahun 1960-an).

Indikasi yang disampaikan Colin, diselidiki oleh Diamond, dan diamini oleh Francis Fukuyama, adalah bahwa kehidupan demokrasi dalam negara pada akhirnya hanya perkara prosedural, itupun kian melemah kualitasnya.

Pemilu dijalankan, lembaga demokrasi dilengkapi, media diberi ruang bebas, dan lain-lain, tapi keputusan publik tetap mutlak terletak di tangan-tangan oligarki ekonomi politik, alias di tangan beberapa gelintir orang saja.

Diamond dan Frank (panggilan akrab Francis Fukuyama) menyebutnya dengan istilah patrimonialisme politik dan patron-clientalism, sementara Colin Crouch menyebutnya dengan sebutan neo-aristocratic system.

Persamaan pandangan dari ketiga tokoh tersebut, adalah bahwa demokrasi pada akhirnya hanya perkara seremoni di satu sisi, gegayaan, sok demokratis, biar trendy secara politik, atau sekadar mengikuti tren global.

Namun di sisi lain, kenyataannya hanya digunakan oleh oligar-oligar untuk membangun impresi bahwa daerah kekuasaannya sudah demokratis, sementara kepentingan mereka terselamatkan.

Tidak berbeda dengan pembenaran para pendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, misalnya, bahwa semua proses hukum dan konstitusi telah terpenuhi dan mereka menutup mata atas praktik politik dinasti yang dimainkan oleh Presiden Jokowi dan Gibran.

Bahkan mereka bertahan dengan pernyataan bahwa putusan MK tak bisa diganggugugat, sekalipun Hakim Ketua yang mengeluarkan putusan tersebut terkena sanksi etis dinonaktifkan karena dianggap telah melanggar etika hukum.

Artinya, jika hakim ketuanya melanggar etika dalam mengeluarkan putusan tersebut, maka secara logis, keputusan tersebut juga melanggar asas etika hukum.

Dan jika Gibran akhirnya bisa maju sebagai bakal calon wakil presiden untuk Prabowo berkat putusan yang tak beretika tersebut, maka bisa dikatakan bahwa pencalonan Gibran sebagai bakal calon wakil presiden bukankah juga tidak beretika secara hukum, apalagi secara politik?

Artinya, jika selama prosesnya saja pasangan kandidat tersebut sudah memanipulasi institusi demokrasi dan memanipulasi konstitusi, lantas bagaimana nanti jika mereka berkuasa, bukankah peluang terjadinya degradasi dan resesi demokrasi pun akan semakin besar?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK,

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK,

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com