Nation branding secara umum diartikan sebagai reputasi suatu negara dalam aspek fisiknya. Sementara national identity lebih merujuk kepada ciri khas suatu bangsa dalam aspek nonfisiknya, lebih kepada karakter atau budaya dari bangsa itu.
Dalam pergaulan antarbangsa, Indonesia telanjur dikenal sebagai bangsa multikultural, toleran, moderat, dan menghargai keberagaman.
Meski terdiri dari berbagai suku, etnik, ras, dan agama, bangsa Indonesia bisa bersatu dalam satu negara karena disatukan oleh satu bahasa: bahasa Indonesia.
Di sini bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatu, unifying factor. Bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa yang majemuk bisa dinarasikan dalam diplomasi bahasa Indonesia di dunia internasional.
Ketiga, bahasa Indonesia sebagai elemen soft power diplomacy. Citra bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa merupakan elemen soft power diplomacy Indonesia.
Menurut Nye, suatu negara mau mendukung dan bersahabat dengan negara lain karena ada rasa kagum terhadap negara itu (Joseph Nye, Soft Power, 2004).
Di tengah dunia yang sedang dilanda perpecahan internal di sejumlah negara akibat sentimen suku, etnik, ras, dan agama, nilai pemersatu yang diemban oleh bahasa Indonesia dalam menyatukan bangsa yang besar menjadi relevan.
Peran bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa banyak dikagumi negara sahabat. Seturut pandangan Nye di atas, kekaguman negara sahabat akan menjadi landasan kokoh dalam membangun persahabatan yang lebih erat.
Dengan ketiga kekuatan citra bahasa Indonesia itu, bagaimana kemudian Indonesia harus menjalankan diplomasi bahasa?
Setidaknya ada dua program andalan yang dimotori oleh Kemendikbud: Dharmasiswa dan BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing).
Dharmasiswa memberi bea-siswa kepada mahasiswa asing untuk belajar seni budaya dan bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Melalui program BIPA, Kemendikbud mengirim guru BIPA ke negara sahabat untuk memberikan pelajaran bahasa Indonesia bagi mahasiswa dan masyarakat di negara itu.
Bekerja sama dengan KBRI dan KJRI, program Dharmasiswa dan BIPA telah menghasilkan ratusan alumni yang tersebar di puluhan negara.
Dengan kemahiran berbahasa Indonesia dan kecintaan pada Indonesia, para alumni ini menjadi ujung tombak diplomasi budaya yang dilakukan Kedutaan/Konsulat Indonesia di berbagai negara.
Namun ada kenyataan pahit: para alumni Dharmasiswa dan BIPA ini justru “dicuri” oleh negeri jiran, Malaysia. Negeri jiran ini memanfaatkan para alumni beasiswa Indonesia untuk kepentingan diplomasi budayanya di negara akreditasi.