Salin Artikel

Diplomasi Bahasa, Jangan Sampai Dicuri Negeri Jiran

Selama kongres banyak sub-tema menarik yang dibahas dalam hajat lima tahunan itu. Para pakar bahasa dan sastra bertukar-pikiran ikhwal upaya pemajuan bahasa dan sastra Indonesia.

Namun kali ini ada satu sub-tema yang erat terkait dengan kebijakan luar negeri, yaitu internasionalisasi dan diplomasi bahasa Indonesia.

Awam paham, domain kebijakan luar negeri utamanya mencakup isu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Diplomasi bahasa jatuh dalam domain diplomasi budaya.

Para pelaku diplomasi mahfum bahwa diplomasi budaya bertujuan memproyeksikan citra bangsa dan negara dengan menggunakan segala macam produk budaya, termasuk bahasa, sebagai instrumen.

Dalam perspektif ini bisa dipahami kemudian jika diplomasi bahasa dilakukan untuk memproyeksikan citra bangsa dan negara dalam pergaulan internasional. Namun citra apa yang hendak diproyeksikan?

Setidaknya ada tiga aras pemikiran untuk mendeskripsikan citra Indonesia dalam konteks diplomasi bahasa Indonesia.

Pertama, dari aspek nilai dan semangat Sumpah Pemuda. Sumpah para pemuda untuk berbahasa satu, bukan sekadar keputusan kebudayaan. Itu adalah keputusan politik.

Untuk menyatukan bangsa, pemuda yang berbahasa mayoritas dengan ikhlas memutuskan bahasa Indonesia—bahasa yang berasal dari satu bagian kecil di Sumatera, tapi luas dipakai dalam komunikasi sosial dan perdagangan antarkepulauan—sebagai bahasa persatuan.

Bahasa Indonesia bukan lagi sekadar lingua franca atau bahasa pengantar pergaulan sosial semata. Ia bukan lagi produk budaya.

Saat itu keputusan ”berbahasa satu” adalah produk politik. Politik persatuan bangsa yang majemuk. Tidak banyak bangsa di dunia yang memiliki satu bahasa persatuan.

Indonesia boleh berbangga karena punya bahasa nasional sendiri yang berasal dari bahasa ibunya.

Di dalam praktik diplomasi, rasa bangga terhadap bahasa Indonesia bisa dinarasikan dengan mengatakan: nilai pemersatu bahasa Indonesia merupakan embrio nasionalisme dan persatuan para pemuda Indonesia dalam membangun konsep “negara bangsa” (nation state) yang bernama Indonesia.

Berkat bahasa Indonesia sebagai produk politik, Indonesia tetap utuh sebagai bangsa yang punya satu bahasa persatuan hingga kini.

Kedua, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Dalam teori diplomasi publik dikenal dua istilah tentang citra bangsa, yaitu nation branding dan national identity.

Nation branding secara umum diartikan sebagai reputasi suatu negara dalam aspek fisiknya. Sementara national identity lebih merujuk kepada ciri khas suatu bangsa dalam aspek nonfisiknya, lebih kepada karakter atau budaya dari bangsa itu.

Dalam pergaulan antarbangsa, Indonesia telanjur dikenal sebagai bangsa multikultural, toleran, moderat, dan menghargai keberagaman.

Meski terdiri dari berbagai suku, etnik, ras, dan agama, bangsa Indonesia bisa bersatu dalam satu negara karena disatukan oleh satu bahasa: bahasa Indonesia.

Di sini bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatu, unifying factor. Bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa yang majemuk bisa dinarasikan dalam diplomasi bahasa Indonesia di dunia internasional.

Ketiga, bahasa Indonesia sebagai elemen soft power diplomacy. Citra bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa merupakan elemen soft power diplomacy Indonesia.

Menurut Nye, suatu negara mau mendukung dan bersahabat dengan negara lain karena ada rasa kagum terhadap negara itu (Joseph Nye, Soft Power, 2004).

Di tengah dunia yang sedang dilanda perpecahan internal di sejumlah negara akibat sentimen suku, etnik, ras, dan agama, nilai pemersatu yang diemban oleh bahasa Indonesia dalam menyatukan bangsa yang besar menjadi relevan.

Peran bahasa Indonesia sebagai faktor pemersatu bangsa banyak dikagumi negara sahabat. Seturut pandangan Nye di atas, kekaguman negara sahabat akan menjadi landasan kokoh dalam membangun persahabatan yang lebih erat.

Dengan ketiga kekuatan citra bahasa Indonesia itu, bagaimana kemudian Indonesia harus menjalankan diplomasi bahasa?

Setidaknya ada dua program andalan yang dimotori oleh Kemendikbud: Dharmasiswa dan BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing).

Dharmasiswa memberi bea-siswa kepada mahasiswa asing untuk belajar seni budaya dan bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Melalui program BIPA, Kemendikbud mengirim guru BIPA ke negara sahabat untuk memberikan pelajaran bahasa Indonesia bagi mahasiswa dan masyarakat di negara itu.

Bekerja sama dengan KBRI dan KJRI, program Dharmasiswa dan BIPA telah menghasilkan ratusan alumni yang tersebar di puluhan negara.

Dengan kemahiran berbahasa Indonesia dan kecintaan pada Indonesia, para alumni ini menjadi ujung tombak diplomasi budaya yang dilakukan Kedutaan/Konsulat Indonesia di berbagai negara.

Namun ada kenyataan pahit: para alumni Dharmasiswa dan BIPA ini justru “dicuri” oleh negeri jiran, Malaysia. Negeri jiran ini memanfaatkan para alumni beasiswa Indonesia untuk kepentingan diplomasi budayanya di negara akreditasi.

Tanpa izin dari Kedutaan/Konsulat Jenderal Indonesia di negara itu. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang diundang ke Malaysia untuk ikut lomba pidato dalam bahasa Melayu (padahal para alumni itu hanya bisa bahasa Indonesia, yang tentu beda dengan bahasa Melayu).

Ini sungguh tindakan diplomasi culas dan tidak bersahabat. Praktik diplomasi culas seperti ini tidak boleh dibiarkan.

Apa yang harus dilakukan terhadap tindak “pencurian” alumni Dharmasiswa dan BIPA oleh Malaysia? Pertama, Indonesia harus “memelihara apa yang sudah ditanam”.

Indonesia memang rajin menanam, tapi malas memelihara. Akibatnya: ketika pohon itu berbuah, negara lain memetik buahnya. Itulah yang terjadi dengan program Dharmasiswa dan BIPA.

Kita rutin mengundang mahasiswa dan pemuda/i negara sahabat untuk belajar bahasa dan seni budaya Indonesia dengan beasiswa dari APBN.

Tapi setelah mereka selesai studi dan kembali ke negara asalnya, mereka tidak “dipelihara”, sehingga mereka tak pernah lagi berinteraksi lagi dengan Indonesia.

Mereka seolah terlupakan. Pengetahuan mereka tentang bahasa dan seni budaya Indonesia lama-lama hilang.

Ketika mereka tidak “dipelihara” oleh Indonesia setelah “ditanam”, maka buahnya “dipetik” Malaysia. Untuk mengatasi ini, alumni Dharmasiswa dan BIPA harus dilibatkan dengan kegiatan diplomatik KBRI/KJRI secara berkesinambungan dan melembaga.

Kedua, para diplomat dan Dubes Indonesia di negara akreditasi harus berani tunjukkan sikap tegas terukur kepada Kedubes Malaysia jika mereka kedapatan memanfaatkan alumni Dharmasiswa dan BIPA untuk kepentingan diplomasi budaya mereka.

Sikap tegas terukur berupa teguran secara formal kepada Kedubes Malaysia dimaksudkan untuk menyadarkan mereka bahwa mencuri alumni adalah perbuatan tidak bersahabat, bahkan bisa mengganggu persahabatan itu sendiri.

Ketiga, para alumni Dharmasiswa dan BIPA yang ada di satu negara harus dihimpun dalam asosiasi persahabatan yang difasilitasi oleh KBRI/KJRI.

Melalui asosiasi persahabatan interaksi antara para alumni dan Indonesia tetap terjaga. Mereka diajak untuk berkolaborasi dalam kegiatan diplomasi budaya yang diselenggarakan oleh KBRI/KJRI.

Dengan terbinanya hubungan baik dengan para alumni Dharmasiswa dan BIPA secara berkesinambungan diplomasi budaya Indonesia diharapkan dapat mencapai misi utama diplomasi budaya: memperat persahabatan dengan negara akreditasi.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/29/12385401/diplomasi-bahasa-jangan-sampai-dicuri-negeri-jiran

Terkini Lainnya

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke