PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 menyisakan banyak cerita. Putusan tersebut mengubah wajah perpolitikan Indonesia.
Wajah MK disorot dengan pandangan sinis. Sinisme yang muncul terhadap MK tidak hanya dari kalangan luar, namun juga muncul dari internal Mahkamah.
Dissenting opinion Saldi Isra yang menyatakan kebingungannya secara eksplisit pada halaman 95 putusan merupakan salah satu bentuk pertunjukkan hukum yang antiklimaks.
Hal “aneh” dan “luar biasa” yang diungkapkan oleh Saldi tentu tidak seutuhnya bisa dipahami oleh masyarakat. Ada suasana kebatinan yang tak gampang diudar. Walaupun demikian, aksi sentimental Saldi dalam perkara itu bisa dirasa-rasakan oleh kebanyakan orang.
Dengan segala keanehannya, saya mengapresiasi putusan tersebut dalam dua hal. Pertama, putusan ini dimulai dari perkara yang diajukan oleh seorang pemuda alumnus fakultas hukum Universitas Surakarta (UNSA) yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A.
Pemuda yang layak diapresiasi karena berhasil mempraktikkan ilmunya di Fakultas Hukum ke ranah aplikatif. Gerakan Almas bukan sekadar uji kanuragan hukum saja, namun berdampak signifikan terhadap perubahan sejarah politik Indonesia.
Begitulah anak muda seharusnya. Di saat teman-temannya berpeluh-peluh diskusi dan aksi, dia mengambil jalan pintas dengan elegan melalui MK.
Saya disodorkan video kegagapan Almas dalam menjawab pertanyaan wartawan terkait perkara yang diajukannya ke MK. Banyak yang mengolok-olok Almas karena terkesan tidak paham dan tidak mengerti persoalan.
Saya dengan optimistis menjawab, dia bukan tidak paham, dia hanya gagap di depan kamera serta tak mau dianggap paham. Toh, putusan tersebut merupakan bukti nyata prestasinya yang tak terbantahkan, bukan? Salah satu calon Menkumham masa depan!
Kedua, putusan tersebut membuka peluang bagi anak-anak muda untuk melaju dalam pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai wadah kontestasi tertinggi dalam politik.
Apalagi anak-anak muda yang sudah berpeluh-peluh berproses di organisasi kepemudaan. Namun, peluang itu tidak serta merta tersaji mudah.
Putusan itu punya limitasi dalam poin kedua amar putusan MK dengan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Adanya limitasi dalam putusan itu memutus asa para aktivis dari organisasi pemuda yang selama ini berlumut-lumut dalam proses kaderisasi.
Entah berapa buku yang dilahap untuk memantaskan diri menjadi pemimpin ke depan. Berapa warung kopi yang disinggahi untuk menguji rasionalitas argumentasi yang dibangun?
Berapa aksi yang dilalui untuk mempertontonkan idealisme karena menjunjung nilai-nilai dasar pergerakan dan perjuangan? Semuanya buyar karena harapan itupun terbatas. Amat sangat terbatas.
Ternyata putusan MK hanya untuk memuluskan jalan Gibran Rakabuming, bukan kepentingan pemuda lainnya.
Sangat mungkin putusan itu temporal. Sehebat apapun narasi yang dibangun atas dasar demi dan atas nama kepentingan bangsa, tetap saja cacat moralitas hukumnya ternganga jelas.
Moralitas hukum yang terkoyak bukan bagian dari bab politik yang menarik untuk dibicarakan. Politik adalah ruang pertempuran. Tidak ada batasan halal dan haram dalam pertempuran politik.
Etika dan moralitas hanya sekadar kumpulan teori filsafat hukum yang diajarkan, bukan untuk dipraktikkan. Demikianlah wajah hukum yang ditampilkan para elite.