Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Mulia Mana: Ayam Pagi Sore atau Mahkamah Konstitusi?

Kompas.com - 17/10/2023, 11:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA beda antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan restoran Pagi Sore?

Restoran Pagi Sore membahagiakan pelanggannya, baik di pagi hari, maupun di sore hari. Rasa ayamnya tetap sama. Tidak berubah lantaran waktu yang bergeser, dari pagi ke sore hari.

MK, sebaliknya. Ia hanya membahagiakan rakyat, pencari keadilan, di pagi hari. Di sore hari, MK melantakkan dirinya sendiri. Kebahagiaan yang ditawarkannya di pagi hari, ia racuni di sore hari.

Putusannya di pagi hari tentang batas usia capres dan cawapres, sangat melegakan. Di sore hari, MK membuat putusan yang penuh pat gulipat. Sarat dengan akal bulus. Surplus dengan tipu muslihat.

MK membuat aturan baru tentang pengalaman seseorang untuk menjadi Capres atau Cawapres. Paling penting, punya pengalaman pemerintahan yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum.

Restoran Pagi Sore jauh lebih mulia dalam mengabdikan diri kepada rakyat dibanding MK. Restoran Pagi Sore konsisten dalam menjaga mutu untuk kebahagiaan para pelanggan.

Jelas sudah kan, ke arah mana lembaga terhormat itu hendak dibawa oleh sejumlah hakim MK yang menyebut diri mereka sebagai “negarawan.”

Siapa bilang MK adalah the guardian of constitution? Sama sekali tidak. MK adalah the servant of individual interest.

Bagaimana tidak, MK secara konstitusi, tidak boleh membuat aturan baru. MK hanya memiliki kewenangan untuk menilai, menimbang dan memutuskan bahwa undang-undang melanggar Konstitusi atau sejalan dengan Konstitusi. Tidak lebih dari itu.

Dengan perangai fungsi seperti ini, ada baiknya kita tinjau saja keberadaan lembaga legislatif dan eksekutif kita.

Bukankah menurut Konstitusi, DPR dan pemerintah yang justru memiliki kewenangan membuat undang-undang?

Luar biasa penafsiran Konstitusi sejumlah hakim MK. Nalar kita diporak porandakan. Akal kecerdasan kita dianiaya secara sistematis.

Bau Kongkalikong

Pelik untuk menepis anggapan bahwa MK memang memfungsikan diri untuk melayani kepentingan orang per orang. Bukan kepentingan bangsa dan negara.

Putusan MK tentang persyaratan menjadi Capres-Cawapres dikaitkan dengan ada tidaknya pengalaman seseorang dalam pemerintahan yang didapatkannya melalui mekanisme pemilihan umum.

Ini jelas dan terang, itu untuk memberi peluang kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Bukan kepada yang lain-lain. Luar biasa ihtiar MK dalam melumat rasa keadilan bangsa kita.

Ada baiknya kita mengingat rentetan kejadian ke belakang. Sekitar dua tahun lalu, para kepala desa dimobilisasi membuat deklarasi dan kebulatan tekad untuk mengubah Konstitusi agar masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode.

Keinginan itu gagal terjadi karena para parpol enggan mengubah Konstitusi. Mereka punya calon sendiri.

Usaha pun berubah lagi. Sejumlah ponggawa negeri ini mengusulkan agar masa jabatan presiden diperpanjang tiga tahun. Alasannya, tiga tahun kita didera oleh Covid-19 sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif. Ini pun ditolak oleh parpol.

Sejak itulah nama putra Presiden Jokowi muncul ke permukaan untuk menjadi pemimpin nasional. Mekanisme konstitusional pun ditempuh, melakukan judicial review ke MK. Gayung
bersambut. Horeee. Horeee.

Dari alur fakta ini, apakah kita masih harus membodohi diri bahwa putusan MK kemarin itu adalah putusan demi keadilan? Bebas dari kepentingan orang per orang?

Putusan tersebut mengingatkan saya dengan lagu yang dinyanyikan oleh Dewi Yul dan Broery Pesolima: “Jangan ada dusta di antara kita.”

MK agaknya mulai rabun dalam meneropong masa depan bangsa kita. Kehidupan bangsa yang kian kompleks ke depan, mensyaratkan pemimpin bangsa yang tidak dikarbit, tetapi berproses secara alamiah.

Bukan kader jenggot yang bergantung di dagu. Harus ada kapabilitas yang mumpuni. Tidak sekadar populer yang diorkestrasi secara canggih, lalu berpura-pura tidak tahu menahu.

Bangsa ini membutuhkan otentitas, bukan kemunafikan. Semua itu terjadi, dengan mudah kita nujum, adalah hasil rekayasa dan desain sistematis.

Bukan keinginan rakyat. Bukan tuntutan rasa keadilan. Bukan keinginan luhur untuk memperbaiki dan mengabdi kepada rakyat. Semua itu terjadi sebagai refleksi dari kerakusan terhadap kekuasaan dan ketamakan untuk dipuja dan dipuji.

Dalam konteks ini, saya pun kian percaya bahwa jangan-jangan ada sesuatu yang ingin diselamatkan ke depan sehingga harus memaksakan kehendak untuk menjadikan seseorang menjadi pemimpin nasional?

Saya pun teringat kejadian di pelbagai masa silam. Semua pemimpin yang memaksakan anak dan keturunannya menjadi pengganti dirinya, akan berahir secara mengenaskan. Bukan membawa kebahagiaan bagi dirinya, apalagi bagi bangsa.

Perkenankan saya menutup esai ini dengan kutipan lagi yang dinyakikan oleh Ebiet G Ade, "Berita Kepada Kawan":

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan besahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com