Salin Artikel

Mulia Mana: Ayam Pagi Sore atau Mahkamah Konstitusi?

Restoran Pagi Sore membahagiakan pelanggannya, baik di pagi hari, maupun di sore hari. Rasa ayamnya tetap sama. Tidak berubah lantaran waktu yang bergeser, dari pagi ke sore hari.

MK, sebaliknya. Ia hanya membahagiakan rakyat, pencari keadilan, di pagi hari. Di sore hari, MK melantakkan dirinya sendiri. Kebahagiaan yang ditawarkannya di pagi hari, ia racuni di sore hari.

Putusannya di pagi hari tentang batas usia capres dan cawapres, sangat melegakan. Di sore hari, MK membuat putusan yang penuh pat gulipat. Sarat dengan akal bulus. Surplus dengan tipu muslihat.

MK membuat aturan baru tentang pengalaman seseorang untuk menjadi Capres atau Cawapres. Paling penting, punya pengalaman pemerintahan yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum.

Restoran Pagi Sore jauh lebih mulia dalam mengabdikan diri kepada rakyat dibanding MK. Restoran Pagi Sore konsisten dalam menjaga mutu untuk kebahagiaan para pelanggan.

Jelas sudah kan, ke arah mana lembaga terhormat itu hendak dibawa oleh sejumlah hakim MK yang menyebut diri mereka sebagai “negarawan.”

Siapa bilang MK adalah the guardian of constitution? Sama sekali tidak. MK adalah the servant of individual interest.

Bagaimana tidak, MK secara konstitusi, tidak boleh membuat aturan baru. MK hanya memiliki kewenangan untuk menilai, menimbang dan memutuskan bahwa undang-undang melanggar Konstitusi atau sejalan dengan Konstitusi. Tidak lebih dari itu.

Dengan perangai fungsi seperti ini, ada baiknya kita tinjau saja keberadaan lembaga legislatif dan eksekutif kita.

Bukankah menurut Konstitusi, DPR dan pemerintah yang justru memiliki kewenangan membuat undang-undang?

Luar biasa penafsiran Konstitusi sejumlah hakim MK. Nalar kita diporak porandakan. Akal kecerdasan kita dianiaya secara sistematis.

Bau Kongkalikong

Pelik untuk menepis anggapan bahwa MK memang memfungsikan diri untuk melayani kepentingan orang per orang. Bukan kepentingan bangsa dan negara.

Putusan MK tentang persyaratan menjadi Capres-Cawapres dikaitkan dengan ada tidaknya pengalaman seseorang dalam pemerintahan yang didapatkannya melalui mekanisme pemilihan umum.

Ini jelas dan terang, itu untuk memberi peluang kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Bukan kepada yang lain-lain. Luar biasa ihtiar MK dalam melumat rasa keadilan bangsa kita.

Ada baiknya kita mengingat rentetan kejadian ke belakang. Sekitar dua tahun lalu, para kepala desa dimobilisasi membuat deklarasi dan kebulatan tekad untuk mengubah Konstitusi agar masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode.

Keinginan itu gagal terjadi karena para parpol enggan mengubah Konstitusi. Mereka punya calon sendiri.

Usaha pun berubah lagi. Sejumlah ponggawa negeri ini mengusulkan agar masa jabatan presiden diperpanjang tiga tahun. Alasannya, tiga tahun kita didera oleh Covid-19 sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif. Ini pun ditolak oleh parpol.

Sejak itulah nama putra Presiden Jokowi muncul ke permukaan untuk menjadi pemimpin nasional. Mekanisme konstitusional pun ditempuh, melakukan judicial review ke MK. Gayung
bersambut. Horeee. Horeee.

Dari alur fakta ini, apakah kita masih harus membodohi diri bahwa putusan MK kemarin itu adalah putusan demi keadilan? Bebas dari kepentingan orang per orang?

Putusan tersebut mengingatkan saya dengan lagu yang dinyanyikan oleh Dewi Yul dan Broery Pesolima: “Jangan ada dusta di antara kita.”

MK agaknya mulai rabun dalam meneropong masa depan bangsa kita. Kehidupan bangsa yang kian kompleks ke depan, mensyaratkan pemimpin bangsa yang tidak dikarbit, tetapi berproses secara alamiah.

Bukan kader jenggot yang bergantung di dagu. Harus ada kapabilitas yang mumpuni. Tidak sekadar populer yang diorkestrasi secara canggih, lalu berpura-pura tidak tahu menahu.

Bangsa ini membutuhkan otentitas, bukan kemunafikan. Semua itu terjadi, dengan mudah kita nujum, adalah hasil rekayasa dan desain sistematis.

Bukan keinginan rakyat. Bukan tuntutan rasa keadilan. Bukan keinginan luhur untuk memperbaiki dan mengabdi kepada rakyat. Semua itu terjadi sebagai refleksi dari kerakusan terhadap kekuasaan dan ketamakan untuk dipuja dan dipuji.

Dalam konteks ini, saya pun kian percaya bahwa jangan-jangan ada sesuatu yang ingin diselamatkan ke depan sehingga harus memaksakan kehendak untuk menjadikan seseorang menjadi pemimpin nasional?

Saya pun teringat kejadian di pelbagai masa silam. Semua pemimpin yang memaksakan anak dan keturunannya menjadi pengganti dirinya, akan berahir secara mengenaskan. Bukan membawa kebahagiaan bagi dirinya, apalagi bagi bangsa.

Perkenankan saya menutup esai ini dengan kutipan lagi yang dinyakikan oleh Ebiet G Ade, "Berita Kepada Kawan":

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan besahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/17/11295031/mulia-mana-ayam-pagi-sore-atau-mahkamah-konstitusi

Terkini Lainnya

Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Nasional
Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Nasional
Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Nasional
Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Nasional
Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Nasional
Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Nasional
Mengganggu Pemerintahan

Mengganggu Pemerintahan

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan kepada 2 Anak SYL, Capai Miliaran Rupiah?

Daftar Aliran Uang Kementan kepada 2 Anak SYL, Capai Miliaran Rupiah?

Nasional
Jokowi Rapat Bahas Aksesi OECD dengan Menko Airlangga dan Sri Mulyani

Jokowi Rapat Bahas Aksesi OECD dengan Menko Airlangga dan Sri Mulyani

Nasional
Korban Banjir Lahar di Sumbar hingga 16 Mei: 67 Orang Meninggal, 20 Warga Hilang

Korban Banjir Lahar di Sumbar hingga 16 Mei: 67 Orang Meninggal, 20 Warga Hilang

Nasional
Kemenag Beri Teguran Keras ke Garuda Indonesia soal Mesin Pesawat Rusak

Kemenag Beri Teguran Keras ke Garuda Indonesia soal Mesin Pesawat Rusak

Nasional
Spesifikasi HNLMS Tromp, Kapal Fregat Belanda yang Bersandar di Jakarta

Spesifikasi HNLMS Tromp, Kapal Fregat Belanda yang Bersandar di Jakarta

Nasional
Banyak Pabrik Pindah dari Jabar dan Picu PHK, Menperin: Itu Perhitungan Bisnis

Banyak Pabrik Pindah dari Jabar dan Picu PHK, Menperin: Itu Perhitungan Bisnis

Nasional
Prabowo Bantah Pemerintahannya Bakal Terapkan Proteksionisme

Prabowo Bantah Pemerintahannya Bakal Terapkan Proteksionisme

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke