Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengawal Penyidikan Kasus Syahrul Yasin Limpo dan Independensi KPK

Kompas.com - 16/10/2023, 15:20 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Proses penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dugaan rasuah mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo bergulir di tahun politik.

Syahrul yang merupakan politikus Partai Nasdem diduga melakukan pemerasan dalam jabatan, menerima gratifikasi, serta melakukan tindak pidana pencucian uang.

Sedangkan Partai Nasdem yang menjadi tempat bernaung Syahrul adalah pengusung pasangan bakal capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Menurut Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam jumpa pers pada Rabu (11/10/2023), dugaan korupsi yang dilakukan Syahrul serta Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono, dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan Muhammad Hatta tercium berkat laporan dari masyarakat.

KPK kemudian memulai proses penyelidikan dengan meminta keterangan sejumlah orang dan mengumpulkan alat bukti.

Baca juga: KPK Panggil 2 Ajudan Syahrul Yasin Limpo, Diperiksa sebagai Saksi

Kemudian, Pejabat Sementara Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Brigjen Asep Guntur Rahayu mengatakan, terdapat 3 klaster dugaan korupsi di Kementan yang tengah diselidiki. Dugaan kasus itu adalah penyalahgunaan Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) keuangan negara, dugaan jual beli jabatan, hingga dugaan penerimaan gratifikasi.

Menurut Johanis, dugaan korupsi yang dilakukan Syahrul bermula ketika dia membuat kebijakan terkait kewajiban pungutan maupun setoran sejak 2020.

Kewajiban setoran itu, kata Johanis, ditujukan kepada aparatus sipil negara di internal Kementan. Tujuan setoran itu, kata dia, buat memenuhi kebutuhan pribadi Syahrul dan keluarganya.

Johanis mengatakan, Syahrul kemudian memerintahkan Kasdi dan Hatta buat menarik setoran uang dari para pejabat eselon I dan II di Kementan yakni direktur jenderal, kepala badan, sampai sekretaris di setiap pejabat eselon I.

Bentuk setoran itu berupa tunai, transfer rekening bank, sampai gratifikasi berupa barang atau jasa.

Baca juga: Teka-teki Cek Rp 2 Triliun di Rumah Syahrul Yasin Limpo hingga Nama Firli Bahuri dalam Dugaan Pemerasan

Dari penyelidikan terungkap, sumber aliran dana setoran itu berasal dari pencairan anggaran Kementan yang sebelumnya sudah digelembungkan.

Selain itu, para pejabat yang dimintai setoran juga mendapatkan dana dari para vendor yang berhasil mendapatkan proyek di Kementan.

Nilai "upeti" buat Syahrul bervariasi, yakni mulai dari Rp 62.800.000 sampai Rp 156.720.000. Duit itu disetor rutin setiap bulan kepada Syahrul.

Dengan demikian, total uang yang diterima Syahrul dalam kurun waktu 2020-2023 lebih kurang Rp 13,9 miliar.

Syahrul, kata Johanis, menggunakan duit setoran itu buat membayar cicilan kartu kredit dan cicilan kredit mobil Toyota Alphard.

Baca juga: Syahrul Yasin Limpo Disebut Belum Dikonfirmasi soal Cek Rp 2 Triliun dalam Pemeriksaan KPK

KPK lantas menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan pada 5 Januari 2023. Setelah itu, penyidik KPK melakukan gelar perkara bersama pimpinan dan memutuskan menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan.

Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) kasus itu terbit pada 26 September 2023.

Berselang 2 hari kemudian atau 28 September 2023, penyidik KPK melakukan penggeledahan di rumah dinas menteri pertanian di kompleks Widya Chandra, serta kantor Kementan di Jakarta Selatan.

Ketika penggeledahan dilakukan, Syahrul sedang melakukan kunjungan kerja ke Spanyol dan Italia.

Meski sudah melakukan penggeledahan, saat itu KPK belum mengumumkan tersangka. Akan tetapi, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut Syahrul sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: Syahrul Yasin Limpo Memeras dan Diperas, Saut Minta KPK dan Polda Tak Ragu Terus Usut

Tak lama kemudian, Syahrul sempat dilaporkan hilang kontak. Akan tetapi Partai Nasdem menyatakan Syahrul sedang berobat dan akan segera kembali ke Tanah Air.

Syahrul pulang pada 5 Oktober 2023. Dia langsung menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan meminta izin buat mengundurkan diri dari posisi Mentan.

Selepas itu, Syahrul menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, dengan alasan ingin fokus menjalani proses hukum.

Johanis kemudian mengumumkan status Syahrul, Kasdi, dan Hatta sebagai tersangka.

Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Baca juga: KPK Temukan Cek Rp 2 Triliun di Rumah Dinas Syahrul Yasin Limpo

Selain itu, Syahrul Yasin Limpo juga dijerat dengan sangkaan Pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Syahrul sebenarnya dijadwalkan diperiksa pada Rabu pekan lalu. Namun, dia absen karena menjenguk ibunya, Nurhayati Yasin Limpo, di Sulawesi Selatan.

Menurut keterangan, Syahrul menyatakan akan hadir dalam pemeriksaan pada Jumat (13/10/2023). Namun, penyidik KPK memutuskan menjemput paksa Syahrul dari sebuah apartemen di Jakarta Selatan pada Kamis (12/10/2023) petang.

Syahrul kemudian dibawa ke KPK dan diperiksa. KPK lantas memutuskan menahan Syahrul yang mengenakan rompi tahanan buat kebutuhan penyidikan selama 20 hari pertama sampai 2 November 2023.

Penyidik KPK juga bakal menelusuri seluruh aliran dana dugaan korupsi dari Syahrul, termasuk kepada anak, istrinya, sampai cucunya.

Baca juga: Nasdem Bantah Terima Aliran Dana dari Syahrul Yasin Limpo

Partai Nasdem mengakui pernah menerima uang Rp 20 juta dari Syahrul buat sumbangan bencana alam. Akan tetapi, mereka membantah menerima aliran dana dugaan korupsi itu.

 

Dilema

Proses penegakan hukum yang dilakukan KPK pun seolah mengalami dilema. Meski KPK berulang kali membantah, tak bisa dipungkiri jika masyarakat menilai terdapat aroma politis menyelimuti proses penyidikan itu.

Di sisi lain, terdapat laporan dugaan pemerasan yang diduga dilakukan pimpinan KPK terhadap Syahrul terkait penanganan perkara itu.

Menurut praktisi hukum Todung Mulya Lubis, seluruh proses penyelidikan sampai penyidikan yang terjadi di tahun politik bakal selalu dikaitkan dengan intrik benturan kepentingan dan perebutan kekuasaan.

Ahli Hukum Todung Mulya Lubis dalam Seminar Nasional Optimalisasi Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi Pelaku Usaha Mikro & Kecil, Jumat (23/6/2023) di Jakarta.YouTube KemenKopUKM Ahli Hukum Todung Mulya Lubis dalam Seminar Nasional Optimalisasi Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi Pelaku Usaha Mikro & Kecil, Jumat (23/6/2023) di Jakarta.

Dia menilai stigma itu tak bisa dihindari oleh penegak hukum maupun pemerintah ketika menggelar proses hukum di tahun politik.

"Semua penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan dan proses peradilan kasus-kasus korupsi pada tahun politik, apalagi sedang marak kampanye, pasti akan bernuansa politik. Akan mudah dipolitisasi," kata Mulya saat dihubungi pada Senin (16/10/2023).

Baca juga: Syahrul Yasin Limpo Pernah Transfer Uang ke Nasdem untuk Bantuan Bencana

Akan tetapi, pemerintah dan aparat penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung sebenarnya bisa menghindari stigma itu dengan membuat kesepakatan.

"Kebijakan paling bijaksana yang diambil oleh banyak negara adalah tidak melakukan proses hukum kasus, terutama kepada capres-cawapres dan calon anggota DPR di tahun politik," ujar Mulya.

Jika hal itu tetap dilakukan, kata Mulya, maka penguasa atau negara bakal dituduh macam-macam seperti menyalahgunakan aparat penegak hukum buat kepentingan politik kelompok tertentu.

Mulya menilai seharusnya proses hukum terkait figur politikus sebaiknya dituntaskan sebelum atau sesudah pemilihan umum. Dia menilai hal itu adalah jalan yang paling baik dan bisa diterima semua kalangan.

Akan tetapi, dalam kasus Syahrul itu terdapat persoalan lain yakni dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK. Hal itu yang menurut Mulya memperumit persoalan dan menjadi celah buat mempertanyakan independensi KPK penegak hukum.

Baca juga: Soal Dana Miliaran Rupiah Syahrul Yasin Limpo ke Nasdem, Ketua DPP: Masih Percaya KPK Independen?

"Ini kan sangat gampang dipolitisasi, tapi kita juga tidak bisa membiarkan Syahrul Yasin Limpo tidak diproses hukum karena bukti-bukti dari penyidikan sudah terlihat jelas," ucap Mulya.

"Dilema memang, tapi kalau tidak disidik akan merugikan rakyat. Biarlah ini menjadi yang terakhir, ke depan tidak boleh lagi seperti ini," sambung Mulya.

Mulya menilai saat ini masyarakat sipil dan media massa harus berperan aktif mengawal proses penyidikan kasus yang melibatkan Syahrul guna mencegah dugaan politisasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kritik RUU Penyiaran, Usman Hamid: Negara Harusnya Jamin Pers yang Independen

Kritik RUU Penyiaran, Usman Hamid: Negara Harusnya Jamin Pers yang Independen

Nasional
Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Nasional
DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

Nasional
Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Nasional
DKPP Gelar Sidang Perdana Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Rabu Besok

DKPP Gelar Sidang Perdana Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Rabu Besok

Nasional
4 Wilayah di Bali Jadi Kabupaten Lengkap, Menteri ATR/BPN AHY: Semoga dapat Perkuat Semangat Investasi

4 Wilayah di Bali Jadi Kabupaten Lengkap, Menteri ATR/BPN AHY: Semoga dapat Perkuat Semangat Investasi

Nasional
Kemenkes Ungkap Belum Semua Rumah Sakit Siap Terapkan KRIS

Kemenkes Ungkap Belum Semua Rumah Sakit Siap Terapkan KRIS

Nasional
Ahli Sebut Tol MBZ Masih Sesuai Standar, tapi Bikin Pengendara Tak Nyaman

Ahli Sebut Tol MBZ Masih Sesuai Standar, tapi Bikin Pengendara Tak Nyaman

Nasional
Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Nasional
Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Nasional
Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Nasional
Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Nasional
Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Nasional
Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com