Karena itu, saya kira, sebagian besar publik berkepentingan terhadap pilpres satu putaran. Pemerintah pun berkepentingan. Dari banyak aspek, pilpres satu putaran akan lebih baik daripada dua putaran.
Namun, mengingat pilpres merupakan bagian demokrasi yang menjadi hajat politik rakyat melalui partai politik (parpol), tak bisa dipaksakan satu atau dua putaran.
Tak bisa pula dipaksakan pilpres diikuti dua atau tiga (poros) pasang capres-cawapres. Proses politik lah yang akan menentukan apakah dua atau tiga poros.
Sebagaimana bisa diikuti dari berbagai media, diskusi publik tentang dua poros pilpres menghangat kembali akhir-akhir ini.
Satu poros sudah terbentuk, yakni poros AMIN (Anies-Muhaimin), poros yang meninggalkan luka di hati pendukung Partai Demokrat.
Poros AMIN didukung Partai Nasdem, PKB, dan PKS. Hanya PKS yang merupakan partai non-pemerintahan Jokowi. Partai Nasdem dan PKB merupakan bagian dari kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Poros AMIN memainkan narasi “perubahan”, seiring dengan posisi Anies Baswedan yang oleh publik dikenal sebagai “antitesis Jokowi”.
Namun, sejak Muhaimin dan PKB bergabung membentuk poros AMIN, narasi perubahan mulai diadaptasi. Pasalnya, PKB merupakan parpol pendukung pemerintahan Jokowi.
Semula PKB bersama poros Prabowo Subianto. Di poros ini, selain PKB dan Partai Gerindra, ada PAN, Partai Golkar, dan PBB. Semua parpol penyokong poros Prabowo merupakan pendukung pemerintahan Jokowi. Narasi yang dibawakan adalah “keberlanjutan”.
Namun, sejak PKB hengkang dan membentuk poros AMIN, lalu Partai Demokrat meninggalkan Anies Baswedan dan bergabung dengan poros Prabowo, narasi keberlanjutan yang dibawakannya harus diadaptasi.
Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dikomandani putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengusulkan agar narasi keberlanjutan yang dibawakan Prabowo juga mengakomodasi ide perubahan Partai Demokrat.
Prabowo pun menerimanya, sehingga narasi keberlanjutan yang hendak dibawakannya perlu adaptasi.
Poros satu lagi, lawan poros AMIN, masih tanda tanya. Poros ini diimajinasikan merupakan penyatuan dari poros Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Selain PDI-P, poros Ganjar disokong PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo. Semua parpol penyokong poros Ganjar merupakan pendukung pemerintahan Jokowi.
Narasi yang didendangkan tentu saja “keberlanjutan”, mengingat Jokowi kader PDI-P yang diusung PDI-P pada dua pilpres yang dimenanginya.
Kinerja Jokowi dianggap sukses, terbukti kepuasan publik atas kinerjanya relatif tinggi (74,3 persen menurut survei Kompas awal Agustus 2023).
Pertanyaannya, apakah dua poros yang sama-sama mendendangkan keberlanjutan, meski ada adaptasi di pihak Prabowo pasca-Partai Demokrat bergabung, akan menyatukan diri? Adakah jalan menuju titik temu?
Sebagian publik menganggap penyatuan poros Ganjar dan Prabowo mustahil, utopis. Pasalnya, masing-masing telah dideklarasikan sebagai bakal capres.
Baik Ganjar maupun Prabowo dan para pendukungnya tak akan menerima posisi sebagai calon wakil presiden (cawapres). Ada gengsi politik pula di sana.
Singkat kata, menyatukan poros Ganjar dan Prabowo sangat tidak masuk akal, baik dari sisi rasionalitas politik maupun dari sisi etika politik terkait aspirasi yang berkembang di kalangan pendukung masing-masing.