“Jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan aku persembahkan kepada Tanah Air dan bangsa.” – Bung Karno.
Penggalan suara asli Bung Karno yang diperdengarkan dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI Perjuangan yang dihelat di Kemayoran, Jakarta, 29 September 2023 lalu, seakan memantik patriotisme dari kader-kader “banteng” dan tamu undangan yang hadir, termasuk Presiden Joko Widodo dan bakal capres Ganjar Pranowo.
Saya yang diundang sebagai narasumber Rakernas bersama ribuan anggota PDI Perjuangan yang hadir dari berbagai penjuru daerah menjadi “saksi” simbolisasi politik dan “kode keras” dari elite-elite partai dan Presiden Jokowi.
Di tengah persepsi publik yang terbangun selama ini, mengingat dalam berbagai momen kenegaraan Jokowi selalu “mengajak” Prabowo Subianto, masyarakat menganggap kalau Jokowi “condong” mendukung bakal capres Prabowo yang diusung Koalisi Indonesia Maju.
Padahal sebagai kader yang diusung PDI Perjuangan mulai dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden dua periode, adalah hal mutlak bagi Jokowi untuk “mendukung” Ganjar Pranowo tanpa syarat.
Akar rumput PDI Perjuangan semakin jengah dengan sikap Jokowi yang seakan-akan menjadi “juru bicara” Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dalam hal isu pencekikkan dan penamparan Wakil Menteri Pertanian dan kontroversial proyek food estate yang dikerjakan Kementerian Pertahanan, justru Jokowi yang menjadi pembela utama Prabowo.
Publik semakin bingung ketika Jokowi mengizinkan putra bungsunya Kaesang Pangarep bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI di kontestasi politik jelang Pilpres 2024 semakin merapat ke kubu Prabowo Subianto.
Seperti sengaja mengingkari aturan partai yang melarang dalam satu keluarga memiliki perbedaan pilihan, Jokowi malah merestui Kaesang untuk melabuhkan pilihan politiknya untuk bergabung dengan PSI, bukan ke PDI Perjuangan.
Beralasan karena Kaesang sudah berumah tangga dan mandiri, Jokowi memberi kebebasan bagi Kaesang untuk memilih wadah aspirasi politiknya.
Berbeda dengan pilihan kakak kandungnya yang menjadi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming dan kakak iparnya yang menjadi Wali Kota Medan, Bobby Nasution, yang memilih PDI Perjuangan, tetap saja pilihan Kaesang membuat bingung pendukung garis keras banteng.
Pemakaian rumah pribadi Jokowi di Solo sebagai tempat seremonial penerimaan Kaesang sebagai anggota baru PSI yang dihadiri pengurus dan dewan pembina PSI, tidak pelak menimbulkan kontradiksi dengan pernyataan Jokowi tentang Kaesang yang telah mandiri.
Rakernas PDI Perjuangan kali ini bisa dimaknai sebagai momentum politik untuk menjawab keragu-raguan dan kebingungan akar rumput partai ini.
Di acara pembukaan Rakernas, Megawati Soekarnoputri kembali memainkan perannya sebagai “mahaguru” politik yang mengedepankan mata batin.
Saat menaiki panggung yang relatif tinggi dari lantai dasar, Megawati sengaja meminta bantuan Ganjar untuk menapak naik.
Usai menerima benih padi dari penemu varietas benih padi “Mari Sejahterakan Petani” Surono Danu, Megawati kembali menuruni panggung acara untuk kembali ke kursi para tamu.
Megawati begitu piawai menggunakan semiotika komunikasi. Saat menuruni panggung, kali ini menggandeng Jokowi di tangan kanannya dan Ganjar di tangan kirinya.
Saya menjadi teringat dengan kajian semiotika yang mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda, di mana persepsi dan pandangan tentang realitas dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.