Lagi pula pemahaman penguasaan negara atas tanah, lebih mencerminkan perilaku kolonial ketimbang semangat kemerdekaan.
Tahun 1870 pemerintah kolonial menerbitkan kebijakan di bidang agraria yang disebut agrarisch besluit sebagai dasar klaim tanah negara atau domein verklaring, yang secara praktik tidak berbeda dengan hari ini.
Domein verklaring, yaitu tanah yang tidak ada alat bukti kepemilikan menjadi tanah negara.
Problemnya tidak mudah bagi warga Rempang dengan keterbatasan uang dan kekuasaan dalam mengupayakan pengurusan sertifikat tanah.
Ditambah lumrah dalam hukum adat, pengakuan atas tanah, apakah ulayat, adat dari petuanan hingga kesultanan, tidak selalu memiliki konsep sertifikat secara absah. Kadang hanya soal pengakuan atas eksistensi keberadaan mereka selama ini, yang harusnya dihormati negara.
Memotret konteks konflik agraria selama ini, kita tidak boleh naif bahwa banyak sekali gesekan kepentingan.
Seperti data Kompas, sepanjang 2022 saja terjadi penguasaan lahan mencapai 1,03 juta hektare yang berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga.
Benturan kepentingan tidak anyar disebabkan praktik korupsi, penyuapan, dan nepotisme.
Dalam konteks Rempang, kawasan ini telah diincar sejak 2003 silam. Maka warga rempang menuntut keadilan, apakah sertifikat yang dimiliki beberapa orang, yang bahkan tidak pernah datang ke tanah tersebut, dianggap lebih berhak ketimbang mereka yang telah turun menurun berada di sana?
Negara memang perlu menegakan hukum. Namun bagi negarawan, prinsip kesetaraan dalam hukum tidak hanya bermakna menegakkan keadilan sembari memihak kepada mereka yang kuat dengan legalitas atas tanah.
Lebih dari itu, “equality before the law” adalah tuntutan untuk negara dalam memberikan kesetaraan itu. Mereka yang memiliki hak adat dan ruang hidup selama ini, semestinya difasilitasi sejak awal kepastian hukumnya.
Secara kalkulasi, mereka yang terdampak konflik agraria jumlahnya besar hingga lebih dari satu juta keluarga.
Dari sudut pandang seorang negarawan angka ini krusial untuk secepatnya dicari solusi. Namun dari sudut pragmatis elektoral seorang capres dalam menghadapi pemilu 2024, angka ini bisa saja dilihat tidak signifikan dan problematik.
Di satu sisi membela hak warga negara, di sisi lain mungkin saja berseberangan dengan oligarki yang biasa mendepositokan hartanya untuk Pemilu.
Keberpihakan pada Rempang, adalah ujian untuk para capres. Tidak hanya menarik simpati pemilih rempang yang secara jumlah tidak mewakili win number (angka kemenangan), namun momentum rempang bisa jadi jalan publik Indonesia menilai otentisitas calon yang mereka dukung, apakah calon yang mereka dukung otentik atau sekadar kosmetik.