JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai, proses seleksi hakim konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berlangsung begitu cepat dan tak transparan.
Dari proses seleksi yang digelar 25-26 September 2023, DPR memilih Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani sebagai hakim konstitusi usulan Parlemen.
“Proses seleksi hakim konstitusi di DPR terburu-buru, dipaksakan, tidak cukup transparan, dan tidak partisipatif,” kata peneliti PSHK, Violla Reininda, kepada Kompas.com, Rabu (27/9/2023).
Baca juga: Semua Fraksi Satu Suara Arsul Sani Gantikan Hakim MK Wahiduddin Adams
Menurut PSHK, proses seleksi hakim MK ini menyimpang dari Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan itu menyebutkan bahwa seleksi hakim konstitusi harus dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka.
Sementara, berdasarkan pemantauan PSHK pada agenda DPR, tidak ditemukan informasi mengenai pembukaan seleksi hakim MK. Nama-nama calon hakim pun muncul secara tiba-tiba.
“Proses yang terburu-buru dan singkat tidak cukup memungkinkan adanya partisipasi publik secara luas dalam setiap tahapan seleksi, bahkan untuk melakukan pemantauan secara langsung di DPR,” ujar Violla.
Model seleksi yang dilakukan oleh panel anggota Komisi III DPR secara langsung juga dinilai berpotensi memunculkan konflik kepentingan.
Baca juga: Arsul Sani Diusulkan Ganti Wahiduddin Adams sebagai Hakim MK
Ketika terdapat calon kandidat yang berlatar belakang sebagai anggota legislatif, objektivitas proses seleksi dan pengambilan keputusan pun dipertanyakan.
Problem lainnya, kata Violla, hakim konstitusi usulan DPR kerap kali dianggap sebagai perpanjangan tangan Parlemen di MK. Padahal, paradigma demikian merupakan kekeliruan fatal yang dapat merusak logika checks and balances kekuasaan negara.
“Sebab, hakim konstitusi bersifat independen dan bukan representasi lembaga pengusul,” katanya.
Atas sejumlah catatan ini, PSHK meminta DPR menyempurnakan standar seleksi hakim konstitusi dengan melibatkan panel ahli pada wawancara. Hal ini demi menghindari konflik kepentingan.
Proses seleksi hakim juga hendaknya dilakukan secara transparan sejak tahap awal, serta melibatkan partisipasi publik yang luas.
DPR juga diminta untuk tidak memanfaatkan momentum ini sebagai upaya intervensi kekuasaan kehakiman. PSHK mengingatkan bahwa DPR hanya lembaga negara yang berwenang mengusulkan calon hakim konstitusi.
Sedangkan hakim konstitusi yang terpilih bersifat independen dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.
“Hakim Konstitusi usulan DPR yang terpilih bersikap independen, imparsial, dan tidak berperan sebagai perpanjangan tangan DPR di kekuasaan kehakiman,” tutur Violla.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.