JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola berpandangan, pengawasan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aktivitas para pegawainya masih sangat minim.
Hal tersebut menjadi salah satu penyebab praktik jual beli predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah.
“Penyalahgunaan wewenang dan jual-beli opini marak terutama karena desain pengawasannya minim. Problem lain adalah makin tergerusnya integritas pegawai BPK,” ujar Alvin saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/5/2024).
Baca juga: Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP
Menurut Alvin, BPK memiliki kewenangan yang besar dalam memeriksa akuntabilitas keuangan negara. Namun, laporan audit yang dihasil sulit terbebas dari adanya unsur kepentingan.
Kondisi ini, lanjut Alvin, tidak terlepas dari keberadaan orang-orang partai politik di tubuh lembaga audit keuangan tersebut.
“Karena sarat konflik kepentingan, akhirnya BPK tidak mampu menghasilkan produk audit yang bebas dari kepentingan,” ungkap Alvin
“Sangat mungkin stempel Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dimanfaatkan untuk menjustifikasi kepentingan politik. Bukan berangkat dari semangat penyelenggaraan pemerintahan yang baik,” sambungnya.
Baca juga: Saksi Sebut Kementan Beri Rp 5 Miliar ke Auditor BPK untuk Status WTP
Diberitakan sebelumnya, Sidang lanjutan kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada Rabu (7/5/2024) lalu, menguak masih adanya indikasi jual-beli opini WTP dalam proses audit yang dilakukan oleh BPK.
Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto yang dihadirkan sebagai saksi mengungkapkan bahwa seorang auditor BPK bernama Victor pernah meminta uang Rp 12 miliar kepada Kementan.
Hermanto menyebutkan, uang itu diminta supaya hasil audit Kementan mendapatkan status WTP dari BPK.
Status WTP Kementan terganjal karena adanya indikasi fraud dengan nilai besar dalam pelaksanaan program food estate atau lumbung pangan nasional.
“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto, Rabu.
Baca juga: Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik
Namun, Hermanto mengatakan, Kementan tidak langsung memenuhi permintaan Victor.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar ke BPK.
“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” kata Herman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.