Lebih mirisnya lagi, partai politik melahirkan koruptor dalam jumlah banyak. Hampir seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan melibatkan orang-orang partai (elite partai politik) yang memiliki “wibawa dan kuasa”.
Penyebab utama dari kerusakan politik ini disebabkan sistem politik yang transaksional dan berbiaya mahal ditambah hedonisme politik dan narsisme yang tidak masuk akal dari politisi untuk memperoleh pengakuan demi capaian popularitas dan elektabilitas.
Persoalan lain disebabkan sistem politik yang dibuat oleh partai politik adalah sistem yang melanggengkan kepentingan mereka, bukan untuk sepenuhnya memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pragmatisme politik lebih menonjol dan sudah mengurat-akar dalam politik, hingga memengaruhi masyarakat secara meluas.
Sistem politik Indonesia belum memberikan nilai substansial bagi proses sirkulasi kekuasaan di tingkat elite. Semua seremonial, pragmatis dan penuh dengan muslihat.
Ini menandakan peradaban politik kita belum sepenuhnya andal untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa besar.
Demokrasi elektoral, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden bersamaan dengan pemilihan DPR, DPRD dan DPD hanya uji coba sistem.
Sistem yang bersifat uji coba ini diutak-atik tiap lima tahun. Bagaimana mungkin sistem yang diganti setiap periode bisa memberikan manfaat bagi rakyat dan perbaikan bangsa dalam jangka panjang?
Para politisi tidak peduli sistem yang ideal dan jangka panjang. Kepedulian politisi adalah melanggengkan kekuasaan apabila mereka memiliki kesempatan untuk berkuasa dan mempertahankan mati-matian meskipun melanggar norma etik, norma moral, dan norma konstitusi.
Seharusnya para politisi belajar dari pemilu 2014 dan 2019 di mana telah menciptakan polarisasi politik dan perkelahian elite yang tidak bermanfaat.
Pemilu langsung serentak pada 2019 adalah eksperimen gagal. Kegagalan pemilihan presiden dan wakil presiden secara serentak dengan pemilihan DPR, DPRD dan DPD disebabkan adanya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang menjadi penyebab kerumitan sistem pemilihan Indonesia.
Problem lain, yaitu minimnya integritas penyelenggara pemilu, politik berbiaya mahal, pragmatisme, dan politik sandera.
Mengenai ambang batas pencalonan presiden, telah membuat bangsa ini semakin krisis kepemimpinan. Karena hanya segelintir orang yang menentukan calon presiden dan wakil presiden. Kandidat capres tidak bisa menghindar diri dari kuasa gerontokrat partai dan para oligark politik.
Penentuan calon presiden dan wakil presiden dengan menggunakan ambang batas tidak pernah menghasilkan presiden yang benar-benar membawa agenda bangsa dan rakyat.
Di balik kekuasaan presiden ada kekuasaan oligarki dan gerontokrasi yang kian menguat di semua partai.