Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Problem Politik dan Konstitusional Koalisi Pilpres

Kompas.com - 25/09/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun realitas sosial dan politik tidak membuat Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentang dengan konstitusi.

Pasal itu paling banyak diuji, lebih dari 20 kali dimohonkan ke MK. Mahkamah hanya berdalil bahwa aturan itu open legal policy.

Sikap MK sepenuhnya “nurut-mangut” dengan partai politik parlemen, meskipun bertentangan dengan konstitusi, tapi harus dikembalikan ke DPR dan Presiden.

UU Pemilu sangat inkonsisten. Di pasal 222 mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dengan syarat wajib terpenuhi PT 20 persen kursi di DPR dan atau 25 persen perolehan suara secara nasional.

Namun dalam Pasal 235 Ayat 5 Undang-undang Pemilu itu juga mewajibkan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

"Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya".

Di pasal 222 diberikan syarat untuk mengusung, tapi di pasal 235 ayat (5) diberikan sanksi kalau tidak mengasung capres dan cawapres.

Anomali ini begitu terlihat telanjang sebagai sistem pemilu yang tidak konsisten dan sangat pragmatis. Artinya partai harus kawin paksa meskipun tidak memiliki kesamaan ideologi dan kesamaan visi, untuk menghindari hukuman pada pemilu berikutnya.

Akibat dari syarat itu partai politik yang tidak memenuhi ambang batas terpaksa mencari teman koalisi untuk dapat mengusung calon presiden.

Pilihannya hanya terbatas pada keputusan elite. Sistem yang jomplang ini bukan hanya memberikan ketidakadilan bagi partai politik peserta pemilu, tetapi juga menciptakan koalisi politik yang pragmatis.

Karena sistem sudah demikian buruk, maka hasil pemilu menjadi buruk. Lahirlah pemimpin dari hasil kawin paksa yang berujung pada politik transaksional, bagi-bagi kekuasaan, dan politik sandera. Semua ini apa untungnya buat rakyat?

Kalau benar kita ingin menciptakan pemilu yang jujur dan adil, hapus persyaratan presidential threshold dan biarkanlah partai politik peserta pemilu mengusung calon presidennya masing-masing. Dan itu sebenarnya kehendak konstitusi.

Dalam pasal 6A ayat (2) secara jelas konstitusi memerintahkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Yang dimaksud partai peserta pemilu adalah partai yang telah memperoleh badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, memenuhi syarat 100 persen pengurus di tingkat provinsi, 75 persen tingkat kabupaten/kota dan 50 persen tingkat kecamatan dan dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu setelah diverifikasi oleh KPU.

Jadi menggunakan ambang batas pencalonan presiden bukan hanya bertentang dengan pasal 6A ayat (2), tapi bertentangan dengan ketentuan pasal 6A yang pada prinsipnya mengatur pemilihan presiden dan syaratnya.

Kalau kita baca ketentuan dalam ayat (4) Pilpres memang didesain untuk dilakukan dua putaran.

Putaran pertama semua partai boleh mengusung calon presiden. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih lima puluh persen pada putaran pertama, maka yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua mengikuti Pilpres putaran kedua.

Dalam waktu yang relatif singkat inilah partai politik membentuk koalisi, sehingga koalisi tidak diatur diawal oleh bos-bos politik.

Dengan demikian, capres dan cawapres tidak ditentukan oleh gerontokrat atau oligark, tapi ditentukan oleh realitas politik dan perolehan suara partai politik. Artinya pilihan rakyatlah yang menyeleksi calon presiden dan wakil presiden.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com