Namun realitas sosial dan politik tidak membuat Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentang dengan konstitusi.
Pasal itu paling banyak diuji, lebih dari 20 kali dimohonkan ke MK. Mahkamah hanya berdalil bahwa aturan itu open legal policy.
Sikap MK sepenuhnya “nurut-mangut” dengan partai politik parlemen, meskipun bertentangan dengan konstitusi, tapi harus dikembalikan ke DPR dan Presiden.
UU Pemilu sangat inkonsisten. Di pasal 222 mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dengan syarat wajib terpenuhi PT 20 persen kursi di DPR dan atau 25 persen perolehan suara secara nasional.
Namun dalam Pasal 235 Ayat 5 Undang-undang Pemilu itu juga mewajibkan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
"Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya".
Di pasal 222 diberikan syarat untuk mengusung, tapi di pasal 235 ayat (5) diberikan sanksi kalau tidak mengasung capres dan cawapres.
Anomali ini begitu terlihat telanjang sebagai sistem pemilu yang tidak konsisten dan sangat pragmatis. Artinya partai harus kawin paksa meskipun tidak memiliki kesamaan ideologi dan kesamaan visi, untuk menghindari hukuman pada pemilu berikutnya.
Akibat dari syarat itu partai politik yang tidak memenuhi ambang batas terpaksa mencari teman koalisi untuk dapat mengusung calon presiden.
Pilihannya hanya terbatas pada keputusan elite. Sistem yang jomplang ini bukan hanya memberikan ketidakadilan bagi partai politik peserta pemilu, tetapi juga menciptakan koalisi politik yang pragmatis.
Karena sistem sudah demikian buruk, maka hasil pemilu menjadi buruk. Lahirlah pemimpin dari hasil kawin paksa yang berujung pada politik transaksional, bagi-bagi kekuasaan, dan politik sandera. Semua ini apa untungnya buat rakyat?
Kalau benar kita ingin menciptakan pemilu yang jujur dan adil, hapus persyaratan presidential threshold dan biarkanlah partai politik peserta pemilu mengusung calon presidennya masing-masing. Dan itu sebenarnya kehendak konstitusi.
Dalam pasal 6A ayat (2) secara jelas konstitusi memerintahkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Yang dimaksud partai peserta pemilu adalah partai yang telah memperoleh badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, memenuhi syarat 100 persen pengurus di tingkat provinsi, 75 persen tingkat kabupaten/kota dan 50 persen tingkat kecamatan dan dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu setelah diverifikasi oleh KPU.
Jadi menggunakan ambang batas pencalonan presiden bukan hanya bertentang dengan pasal 6A ayat (2), tapi bertentangan dengan ketentuan pasal 6A yang pada prinsipnya mengatur pemilihan presiden dan syaratnya.
Kalau kita baca ketentuan dalam ayat (4) Pilpres memang didesain untuk dilakukan dua putaran.
Putaran pertama semua partai boleh mengusung calon presiden. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih lima puluh persen pada putaran pertama, maka yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua mengikuti Pilpres putaran kedua.
Dalam waktu yang relatif singkat inilah partai politik membentuk koalisi, sehingga koalisi tidak diatur diawal oleh bos-bos politik.
Dengan demikian, capres dan cawapres tidak ditentukan oleh gerontokrat atau oligark, tapi ditentukan oleh realitas politik dan perolehan suara partai politik. Artinya pilihan rakyatlah yang menyeleksi calon presiden dan wakil presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.